Kawasan yang sudah rentan dihadapkan dengan meningkatnya permukaan laut, peningkatan suhu laut, dan topan yang lebih parah, ucap laporan baru ini WASHINGTON, D. C, 19 Juni 2013 – Menurut laporan ilmiah yang diterbitkan oleh Bank Dunia hari ini, kemugkinan meningkatnya suhu bumi dua dekade mendatang akan memperberat tantangan pembangunan di kawasan Asia Tenggara dan berpotensi merusak perbaikan pembangunan yang telah tercapai. Laporan Turunkan Suhu Iklim Ekstrim, Dampak Regional, dan Persiapan menuju Ketangguhan Turn Down the Heat Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience, dipersiapkan untuk Bank Dunia oleh Potsdam Institute untuk Riset Dampak Iklim dan Analisa Iklim. Laporan ini adalah lanjutan dari laporan Bank Dunia terbitan tahun lalu yang menyimpulkan bahwa suhu bumi akan meningkat sebanyak 4 derajat Celsius[1] 4°C dari tingkat pra-industri akhir abad ini apabila tidak ada tindakan terkoordinir mulai dari sekarang. Laporan baru ini mengkaji dampak dari peningkatan suhu bumi sekarang ini 2°C[2] dan 4°C terhadap produksi pertanian, sumber air, ekosistem pesisir, dan kota-kota di kawasan Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan dan AsiaTenggara. Asia Tenggara’ terdiri dari Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Thailand, Timor-Leste dan Vietnam. “Laporan baru ini menggambarkan scenario masa depan yang mengkhawatirkan – yang dapat kita alami di masa hidup kita,”ucap Presiden Grup Bank Dunia, Jim Yong Kim. “Para ilmuwan memberitahu kita bahwa apabila suhu bumi meningkat sebanyak 2°C – yang dapat terjadi dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun – akan mengakibatkan kekurangan makanan, arus panas dan topan yang lebih ganas. Dalam jangka waktu pendek, perubahan iklim yang telah terjadi dapat menghancurkan kehidupan, dan harapan masyarakat yang tidak terlibat dalam peningkatan suhu bumi ini.” Laporan ini menggabungkan riset yang telah dikaji peer review dan didukung dengan computer modeling. Laporan ini menggambarkan dua skenario peningkatan ekstrim sebanyak 4ºC dan peningkatan yang sedikit lebih rendah di 2ºC. Laporan ini mengungkap bagaimana peningkatan suhu global semakin mengancam kesehatan dan mata pencaharian masyarakat paling rentan. Di Afrika Sub-Sahara, kekurangan pangan akan semakin menyebar, sedangkan di Asia Selatan, pergeseran pola hujan akan mengakibatkan beberapa daerah terendam air; sementara daerah lain akan kekurangan air untuk pembangkit listrik, irigasi, atau untuk minum. Di Asia Tenggara, degradasi dan hilangnya terumbu karang akan berdampak buruk pada pariwisata, persediaan ikan, dan menjadikan penduduk dan kota-kota pesisir menjadi lebih rentan terhadap badai. Negara-negara di Asia Tenggara sangat rentan atas meningkatnya tingkat permukaan laut, peningkatan suhu yang ekstrim, angina puyuh yang lebih parah, peningkatan suhu laut, serta peningkatan keasaman. Hal ini dikarenakan banyak kepulauan yang terletak di sabuk angin puyuh tropis tropical cyclone belt dan memiliki tingkat kepadatan penduduk daerah pesisir yang cukup tinggi. “Banyak negara-negara di Asia Tenggara yang telah melakukan tindakan terkoordinir untuk menanggapi dampak perubahan iklim, namun laporan ini memberitahu kita bahwa masih banyak yang perlu kita lakukan. Kita perlu meningkatkan dan mempercepat tindakan-tindakan ini untuk mengurangi kerentanan penduduk atas risiko iklim, terutama mereka yang miskin dan rentan,” kata Axel van Trotsenburg, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik. Laporan ini mengkaji risiko iklim yang paling ekstrim untuk Asia Tenggara untuk skenario peningkatan suhu bumi sebesar 2ºC Tingkat permukaan laut meningkat lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya dan angina puyuh akan lebih parah. Laporan ini menemukan bahwa peningkatan permukaan laut sebanyak 50cm di tahun 2050an mungkin sudah tidak terhindari sebagian hasil dari emisi masa lalu, dan di beberapa kasus, dampak ini dapat dirasakan lebih cepat. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah menghasilkan terendamnya daerah lahan hijau untuk jangka waktu yang panjang, dan penggenangan daerah delta dengan masuknya air laut yang akan menyerap ke persediaan air minum. Laporan ini juga memproyeksikan bahwa topan akan menjadi lebih ganas kategori 4 dan 5. Tiga delta sungai dari Mekong, Irrawaddy dan Chao Phraya – semua dengan lahan yang sebagian besar dibawah 2m diatas permukaan laut – berisiko tinggi. Pertanian, pertanian laut, perikanan, dan pariwisata adalah sektor-sektor yang paling rentanterhadap perubahan iklim di delta-delta ini. Kota-kota pesisir dengan populasi yang semakin padat dan aset fisik yang semakin banyak juga rentan akan badai yang semakin parah, peningkatan permukaan air laut jangka panjang, dan banjir pesisir mendadak. Bangkok, Ho Chi Minh, Jakarta, Manila, dan Yangon adalah beberapa kota yang diproyeksikan paling terkena dampak. Terumbu Karang akan mengalami stres sangat parah. Dengan semakin tingginya tingkat keasaman laut, ada kemungkinan besar 50 persen probabilitas terjadinya coral reef bleaching mencapai tahun 2030. Proyeksi ini mendindikasikan bahwa semua terumbu karang di Asia Tenggara akan mengalami stress yang sangat parah mencapai tahun 2050, berdampak buruk pada perikanan laut, pariwisata dan mata pencaharian. Ada 138 juta orang yang hidup di daerah pesisir dan di sepanjang 30km daerah terumbu karang yang akan menderita dampak sosial, ekonomi, dan nutrisi sebagai akibat dari perubahan iklim ini. Mata pencaharian desa dan daerah pesisir terancam. Laporan ini memproyeksikan bahwa persediaan ikan di Laut Jawa dan Teluk Thailand akan berkurang dikarenakan meningkatnya suhu air dan menurunnya tingkat oksigen. Ukuran rata-rata maksimum badan ikan akan berkurang secara signifikan mencapai tahun 2050. Delta Mekong menghasilkan 50 persen dari total hasil produksi pertanian Vietnam dan ekspor beras Vietnam. Meningkatnya permukaan laut sebanyak 30 cm yang mungkin terjadi di tahun 2040 dapat mengurangi produksi beras sebanyak 12 persen. “Negara-negara Asia Tenggara perlu bantuan untuk mengorientasi ulang rencana pembangunan mereka agar isu perubahan iklim dimasukkan ke dalam proses perencanaan, membangun dari upaya-upaya yang sudah dilakukan. Pemerintah Vietnam telah mencari bantuan Bank Dunia untuk menanggapi tantangan perubahan iklim dan kesempatan untuk bergeser ke pertumbuhan rendah karbon dan tahan iklim. Filipina telah memberlakukan Hukum Perubahan Iklim danUndang-undang Pengurangan Risiko dan Manajemen Bencana Nasional yang merupakan perbaikan besar bagi negara ini sehubungan dengan tantangan perubahan iklim,” ucap van Trotsenburg Bukti yang dipaparkan di seri Turn Down the Heat mendemonstrasikan pentingnya kerja Bank Dunia terhadap mitigasi iklim, adaptasi, dan manajemen risiko bencana untuk pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Bank Dunia membantu 130 negara di dunia menanggapi perubahan iklim. Tahun lalu Bank Dunia menggandakan bantuan finansialnya untuk adaptasi – dari USD 2,3 miliar di tahun anggaran 2011 menjadi USD 4,6 miliar pada 2012. Bank Dunia juga meningkatkan bantuannya untuk proyek-proyek yang membantu masyarakat miskin meningkatkan ketahanan mereka serta mengurangi emisi. Di Filipina risiko terbesar adalah dampak badai yang semakin parah bagi pemukiman informal dan masyarakat pesisir. Bank Dunia bekerja bersama dengan pemerintah Filipina guna memperkuat kapasitas negara untuk menanggapi tantangan pembangunan ini. Bersama dengan mitra pembangunan lainnya, Bank Dunia juga membantu persiapan proyek prioritas untuk meningkatkan manajemen banjir di Metro Manila Di Vietnam beberapa dampak terbesar seputar banjir di daerah perkotaan yang disebabkan oleh masuknya air laut di Delta Mekong. Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah Vietnam dalam serangkaian aksi kebijakan untuk memitigasi dampak perubahan iklim dan mendiskusikan program di Ho Chi Minh dan Delta Mekong untuk menanggapi ancaman ini. Di Thailand, banjir parah yang diderita Bangkok di tahun 2011 merupakan gambaran apa yang akan diderita kota ini dengan suhu bumi yang kian menghangat. Setelah banjir ini, Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah Thailand untuk menghasilkan rekomendasi bagaimana cara yang lebih baik untuk mengelola banjir. [1] 4 degrees Celsius = degrees Fahrenheit [2] 2 degrees Celsius = degrees Fahrenheit Untuk mendapatkan laporan Turn Down The Heat Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience silahkan kunjungi Visit us on Facebook Be updated via Twitter For our YouTube channel Read the Development in a Changing Climate blog
Program Melestarikan Laut Indonesia Mengelola laut dan ekosistemnya secara berkelanjutan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat pesisir, melindungi kesehatan laut, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Peta Lokasi Proyek Jelajahi lokasi proyek Bank Dunia di Indonesia dan filter datanya sesuai kebutuhan Anda. Pencapaian Lihat capaian beberapa proyek Bank Dunia di Indonesia. Open Data Bank Dunia memberikan akses gratis dan terbuka untuk data lengkap mengenai pembangunan dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. INDO-DAPOER Indonesia Database for Policy and Economic Research memiliki data sub-nasional hingga 200 indikator pembangunan.Lebihlanjut Marwah menjelaskan, BRGM sendiri berencana akan melakukan Revitalisasi Sumber Mata Pencaharian Masyarakat (rewetting, revegetation, dan revitalization/R3) kepada warga yang terdampak. "Warga desa berharap kalau bisa bantuan R3 dari BRGM ini lebih ke pelatihan peternakan sapi, karena sapi di Kecamatan Rambutan lebih menjanjikan CONTINUOUS COLLABORATION IN CREATING ALTERNATIVE LIVELIHOODS Posted on 05 June 2021 Author by Natalia Trita Agnika "A healthy forest can provide economic benefits without having to do illegal logging," said Andi Liany, Head of Karuing Village, Kamipang District for the period Katingan-Sebangau Peat Hydrological Unit KHG, which has a total area of hectares, is a peat swamp ecosystem with relatively good forest cover. The orangutan population in KHG Katingan-Sebangau ranges from 5,600 – 5,800 individuals PHVA/Population and Habitat Viability Assessment data, 2016. Punggu Alas which located inside the KHG is one of the homes for the orangutan population in in Central Kalimantan are often burned due to various factors. Global Fire Watch analysis, for 5 years 2015-2019, shows that hotspots occur in peatland areas and mostly occur in non-forest cover. In total, it accounts for about 69% of the total area burned in Central fires in Borneo were the cause of orangutan habitat loss. Based on MODIS hotspot data sourced from NASA's Fire Information for Resource Management System FIRMS more than 7,000 hotspots were detected in 2015 and more than 4,500 hotspots were detected in 2019 which have an impact on the destruction of orangutan research was conducted in collaboration with the Sebangau National Park Office, Palangka Raya University, and several orangutan experts in the Punggu Alas area since 2012. The research focused on studying orangutan behavior include daily activities such as foraging, building nests, socializing, and movement ideal orangutan habitat will support life and they will be comfortable so that the reproductive process takes place well. The availability of forage trees, nesting trees, and the absence of threats such as peat fires are good supporting factors for the survival of this species in Punggu the late 1990s when the timber company closed. The Sebangau peat ecosystem has become open access so that many local people work on timber in Sebangau. There is a degradation of orangutan habitat in this area due to logging activities carried out by the community. Orangutan, which is one of the species living in this area, was under pressure because its habitat is shrinking. In 2005/2006, illegal logging activities were stopped by the are confused because the orangutans take precedence over them. The understanding that habitat is important for orangutans has not been implicit in their minds. People don't yet realize why orangutan habitat is under pressure, why it's important to protect their area, why they have to change their way of Created from the Bitterness of LifeThere are three villages located in the Punggu Alas area, precisely in Kamipang District. The villages are Jahanjang Village, Karuing Village, and Baun Bango Village. WWF Indonesia Foundation also works in these areas. During 2005-200, in collaboration with several parties, including the Sebangau National Park Office, the Indonesian Institute of Sciences LIPI, Palangkaraya University then conducted several study includes the study of the hydrology of peat, medicinal plants, orangutan population estimation, and the socio-economic conditions of the community around Sebangau. The main recommendations obtained are the importance of protecting rivers, alternative livelihoods other than illegal logging, preventing forest fires by building canal blocking, and environmental services related to ecotourism. From the study of ecotourism potential, the team identified several ecotourism destinations.“Together with all parties involved in conservation activities, we are trying to find common ground that the conservation of orangutans and their habitat can open up many additional income opportunities for the surrounding community. We identified several ecotourism destinations. Punggu Alas is one of the areas that fit into these criteria,” explained Rosenda Kasih, Sebangau Katingan Program Manager, WWF Indonesia the road to ecotourism development is a journey full of challenges. Parties who do not understand and are confused and feel marginalized by the prohibition of illegal logging strongly reject the proposal. They only know shortcuts to earn. They do not understand the risks that destroy livelihoods that occur quickly, including fires, loss of sources of medicines from forests, loss of lakes/swamps where fish ongoing approach is taken to make the community more open and aware of the benefits of increasing the orangutan population for ecotourism opportunities in these three villages. Together with the city government, village government, and the Sebangau Community Forum FORMAS, WWF Indonesia Foundation is making efforts to approach and process direct meetings and negotiations or better known as the Free Prior Informed Consent and risks are discussed with groups that have activities in the Punggu Alas area. Village government, community forums, fishermen, woodworkers, women, youth as well as community leaders are important actors in this process. The head of FORMAS Kamipang, Surahmansyah together with community leaders such as Andi Liany, now serves as the Chairman of the Joint Community Forest Farmers Group “Kapakat Atei” and Jecky, the Head of the Keruing Village Tourism Node, are the main figures who play important roles in the approach and socialization Surahmansyah shared his experience, “Our approach is consistent and continuous. Together, we open the public's perspective. It was not easy work but we know it needs to be done.“ The parties assisted in carrying out survey activities, special training needed to participate in designing an agreement that became a guide for the activities of all communities from these three villages for the Punggu Alas long winding journey happy ending The establishment of an ecotourism village in the Kamipang District was not done like snapping fingers. But more like a winding mountain road, not a straight and socialization are carried out collaboratively through several awareness-raising activities. The community was conveyed intensely about the importance of protecting the surrounding habitat and protecting the orangutans. Assisted to better understand and realize what the benefits are if they protect their area. At this time, capacity-building programs for environmental services, in this case, ecotourism, are provided to the for the introduction of orangutan habitat, the community is trained to conduct wildlife research. They observe the behavior and movements of orangutans to map the orangutan's path. The available feed was observed for fruiting patterns to determine the exact time the orangutans were located. The vegetation that orangutans need is identified to record the orangutans' stopover community also conducts research on the flora and fauna in Punggu Alas. The entire research was carried out to enable them to determine the right place and time of travel, as well as to develop appropriate tour people and village leaders are actively involved in this activity. “While attending the training, I felt very moved and inspired. It turns out that my area has tremendous potential, and I am determined to develop ecotourism in my place,” said Raya, a youth leader who participated in the research training and shared his inspiration during the training. Currently, Raya is one of the tour guides in the area and has a website that helps promote the Punggu Alas for observing wild development of supporting facilities and infrastructure to realize ecotourism is developed. Together with the national park team, village government, tourist nodes, Punggu Alas was ratified as a center for information, research, and nature tourism. Guesthouse and 32 tracking wild orangutan observations were built. Researchers stay at this information center to carry out their research and observation activities. In fact, tour guides and tourists can stay at this information center before they start Punggu Alas is a peat area and does not escape the vulnerability of fire hazards in the dry season, it is necessary to strive for protection to avoid forest and land fires. Securing peat areas with active community involvement, including restoration activities in the form of replanting areas that used to be illegal logging construction of canal blocking is also carried out to maintain the groundwater level and reduce the risk of fire. This canal will also restore burnt vegetation and contribute to increasing forest area. Trees are planted by the community to provide food and nests for orangutans. The community routinely works together to clean river suppressing forest fires, the community conducts patrols to mitigate and adapt to the possibility of fires in their area. Currently, the community continues to carry out patrol activities during the dry research is important because it carried out to maintain the sustainability of this species. The community monitors the stability of its population. Identification and documentation were carried out by several residents with the help of collaborative guidance from all parties who supported the development of the Punggu Alas tourism knot. Documentation of orangutans to determine their identification status and giving names so that they can be involvement of local communities is very important since all things are done to create a sustainable economic alternative. The community needs to have in-depth knowledge about orangutans, both in terms of habitat and other related issues. They must understand why it is important to protect their territory. Armed with awareness and knowledge, the community becomes the main actor in protecting the sustainability of the area. A long approach carried out in a collaborative manner resulted in changes in people's thoughts, attitudes, and behavior. Now the community and other parties are active in conservation activities. They understand that by protecting forests, their habitats, and orangutans, there is new hope that sustains livelihoods. They participate fully in strengthening ecotourism in their villages to strengthen alternative livelihoods. They allocate village areas for ecotourism areas, including being used as village Village, Karuing Village, and Baun Bango Village became the Punggu Alas Tourism Nodes. Most tourists who visit this tourist node are foreign tourists. Since 2015, tourists visiting this area have come from 20 countries. Before the pandemic hit, with an estimated 2-3 visits per month, ecotourism groups could earn around IDR 1,000,000/head/day. The price of a tour package, of course, also depends on the package taken by tourists."We offer research-based orangutan observation activities to tourists because they are very interested in orangutan research," Raya explained the tour packages positive support emerged from the village, sub-district, district, and provincial governments. The government actively assists with the budget for the Regional Revenue and Expenditure Budget. In 2019, the Ministry of Environment and Forestry, the Peat Restoration Agency, and the Tourism Node collaborated in the construction of canal blocking and the construction of infrastructure facilities in the form of two additional guest houses. They also collaborate with several tour operators such as WoW Borneo, Blue Betang, and other private operators to publicize and promote their Tourism will never betray effort. Hotspots decreased in areas where communities worked together to protect forests and did not release their forests. Even based on 2015-2020 hotspot data source KLHK/LAPAN, there have been no forest fires in the Punggu Alas area since is certainly not spared because of the successful restoration of canal blocking, reforestation, and the active participation of the community through the fire care community group conducting patrols in the area. People from the three villages work hand in hand to protect and save the Punggu Alas area and work actively to help the Sebangau National Park HomeworkThe story of the journey of the Punggu Alas knot is a reflection that the community is always rooted and dependent on its life from sustainable natural resources. With the increasing awareness of protecting forests and a very high sense of forest ownership through ecotourism activities, the community is the main actor in implementing orangutan habitat conservation programs and natural resource dream continues. In 2020, Karuing Village received a social forestry permit in the form of a village forest based on the Decree of the Ministry of Forestry and Environment No. 10379/MENLHK-PSKL/PKPS/ the existence of this village forest, the process of community strengthening is increasingly being carried out. The making of tour packages was developed, and the community became more active in preparing a variety of tour packages to attract local and foreign journey is still long, the dreams are still woven. However, the collaboration of all parties and public awareness of protecting the area will make this dream becomes TANPA HENTI MENCIPTAKAN ALTERNATIF MATA PENCAHARIAN BARU“Ternyata hutan yang dalam kondisi bagus memberikan manfaat ekonomi tanpa harus melakukan penebangan kayu secara illegal,” Andi Liany, Kepala Desa Karuing, Kecamatan Kamipang periode Hidrologis Gambut KHG Katingan-Sebangau, yang memiliki luasan total hektar, merupakan ekosistem rawa gambut yang tutupan hutannya masih bagus. Populasi orangutan di KHG Katingan-Sebangau berkisar – individu data PHVA/Population and Habitat Viability Asessment, 2016. Punggu Alas adalah area yang berada di dalam KHG ini dan merupakan salah satu kawasan kantong populasi orangutan di gambut di Kalimantan Tengah kerap kali terbakar dengan faktor pemicu utamanya yang bervariasi. Analisis Global Fire Watch, dalam kurun waktu 5 tahun 2015-2019, menunjukkan titik api terjadi di area lahan gambut dan sebagian besar terjadi di tutupan non-hutan. Secara total hal itu menyumbang sekitar 69% dari luas total area yang terbakar di Kalimantan Tengah. Kebakaran hutan di Borneo menyebabkan hilangnya habitat orangutan. Berdasarkan data hotspot MODIS bersumber dari NASA’s Fire Information for Resource Management System FIRMS mengindikasikan lebih dari hotspots terdeteksi di tahun 2015 dan lebih dari hotspots di tahun 2019 yang berdampak terhadap rusaknya habitat dilakukan bersama Balai Taman Nasional Sebangau, Universitas Palangka Raya dan beberapa pakar orangutan di kawasan Punggu Alas telah dilakukan sejak tahun 2012. Kegiatan fokus pada kajian perilaku orangutan mencakup kegiatan hariannya seperti kegiatan mencari makan, membangun sarang, bersosialisasi, dan pola pergerakan. Habitat orangutan yang ideal akan mendukung kehidupan dan mereka menjadi nyaman sehingga proses reproduksinya berlangsung baik. Ketersediaan pohon pakan, pohon sarang serta tidak adanya ancaman seperti kebakaran lahan gambut menjadi faktor-faktor pendukung yang baik untuk keberlangsungan spesies ini di Punggu Alas. Pada akhir tahun 1990-an di saat perusahaan kayu tutup. Ekosistem gambut Sebangau menjadi akses terbuka sehingga banyak masyarakat sekitar yang melakukan “kerja kayu” di Sebangau. Terjadi degradasi habitat orangutan di kawasan ini karena kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat. Orangutan, yang merupakan salah satu spesies di kawasan ini, menjadi terdesak karena habitat mereka mengecil. Pada sekitar tahun 2005/2006, kegiatan penebangan kayu ilegal dihentikan kebingungan karena orangutan lebih didahulukan dari mereka. Pemahaman bahwa habitat penting untuk orangutan belum tersirat di pikiran mereka. Masyarakat belum menyadari mengapa habitat orangutan terdesak, mengapa penting menjaga kawasan mereka, apa alasan mereka harus menghentikan pola hidup yang mereka jalani selama yang Tercipta dari Kepahitan HidupAda tiga desa yang terletak di kawasan Punggu Alas, tepatnya di Kecamatan Kamipang. Desa tersebut adalah Desa Jahanjang, Desa Karuing, dan Desa Baun Bango. Kawasan ini merupakan beberapa dari sekian tempat yang merupakan titik fokus kinerja Yayasan WWF Indonesia. Bekerja sama dengan berapa pihak, termasuk Balai Taman Nasional Sebangau, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Universitas Palangkaraya, kemudian melakukan beberapa kajian pada tahun 2005-2007. Kajian tersebut meliputi kajian hidrologi gambut, tumbuhan obat, estimasi populasi orangutan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Sebangau. Rekomendasi utama yang didapatkan adalah pentingnya menjaga sungai, alternatif mata pencaharian selain penebangan kayu secara ilegal, mencegah kebakaran hutan dengan membuat sekat kanal serta upaya jasa lingkungan terkait ekowisata. Dari kajian potensi ekowisata, tim mengidentifikasi beberapa tempat tujuan ekowisata. “Bersama semua pihak yang terlibat dalam kegiatan konservasi, kami berupaya mencari titik temu bahwa konservasi orangutan dan habitatnya dapat membuka banyak peluang pendapatan tambahan untuk masyarakat sekitar. Kami mengidentifikasi beberapa tempat tujuan ekowisata. Punggu Alas adalah salah satu kawasan yang masuk dalam kriteria tersebut,” demikian Rosenda Kasih, Sebangau Katingan Program Manager, Yayasan WWF Indonesia menjelaskan. Namun jalan menuju pengembangan ekowisata merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Pihak-pihak yang kurang paham dan bingung serta merasa terpinggirkan dengan larangan penebangan kayu secara ilegal sangat menolak usulan tersebut. Mereka hanya mengetahui cara pintas untuk mendapatkan penghasilan. Mereka kurang paham risiko yang menghancurkan sumber mata pencaharian terjadi dengan cepat, termasuk kebakaran, hilangnya sumber obat-obatan dari hutan, hilangnya danau/rawa tempat berkembang-biaknya terus-menerus dilakukan agar masyarakat lebih terbuka dan mengetahui manfaat bertambahnya populasi orangutan untuk peluang ekowisata di ketiga desa ini. Bersama dengan pemerintah kota, pemerintah desa dan Forum Masyarakat FORMAS Sebangau, Yayasan WWF Indonesia melakukan upaya pendekatan dan proses pertemuan langsung dan negosiasi atau yang lebih dikenal dengan metode Pemberitahuan Atas Dasar Persetujuan Awal Tanpa Paksaan Free Prior Informed Consent. Peluang dan risiko didiskusikan dengan kelompok yang memiliki aktivitas di area Punggu Alas. Pemerintahan desa, Forum Masyarakat, nelayan, pekerja kayu, perempuan, pemuda juga tokoh masyarakat menjadi pelaku penting dalam proses ini. Ketua FORMAS Kamipang, Surahmansyah bersama dengan tokoh masyarakat seperti Andi Liany, sekarang menjabat sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan “Kapakat Atei” dan Jecky, Ketua Simpul Wisata Desa Keruing merupakan tokoh utama yang berperan penting dalam upaya pendekatan dan Surahmansyah menceritakan pengalamannya, “Pendekatan kami lakukan secara konsisten dan terus menerus. Bersama, kami membuka wawasan masyarakat. Bukan kerja ringan tapi kami tahu ini perlu dilakukan. ”Para pihak membantu terlaksananya kegiatan-kegiatan survei, pelatihan khusus yang diperlukan sampai dengan ikut merancang kesepakatan yang jadi panduan kegiatan semua masyarakat dari tiga desa ini untuk kawasan Punggu Berliku Panjang yang Berujung pada KeindahanPembentukan desa ekowisata di Kecamatan Kamipang bukan dilakukan seperti menjentikkan jari. Ibarat jalan di pegunungan yang berkelok-kelok, bukan jalan yang lurus, begitulah proses ini dan sosialisasi dilakukan secara kolaboratif melalui beberapa kegiatan peningkatan penyadartahuan. Masyarakat disampaikan secara intens mengenai pentingnya menjaga habitat sekitarnya dan melindungi orangutan. Pendampingan bagi mereka untuk lebih memahami dan sadar apa manfaat bila mereka menjaga kawasan mereka. Pada saat ini, program peningkatan kapasitas untuk jasa lingkungan, dalam hal ini ekowisata, diberikan kepada masyarakat. Sementara untuk pengenalan akan habitat orangutan, masyarakat dilatih untuk melakukan riset satwa liar. Mereka mengamati perilaku dan pergerakan orangutan untuk memetakan jalur orangutan. Pakan yang ada diamati pola berbuahnya untuk menentukan waktu yang tepat orangutan berada. Vegetasi yang dibutuhkan orangutan diidentifikasi untuk mencatat tempat persinggahan juga melakukan penelitian terhadap flora dan fauna di Punggu Alas. Keseluruhan riset itu dilakukan untuk memungkinkan mereka menentukan tempat dan waktu wisata yang tepat, serta pengembangan paket wisata yang muda dan tokoh desa terlibat aktif dalam kegiatan ini. “Saat mengikuti pelatihan, saya merasa sangat tergugah dan terinspirasi. Ternyata kawasan saya memiliki potensi luar biasa dan saya bertekad untuk mengembangkan ekowisata di tempat saya,” ujar Raya, tokoh pemuda yang mengikuti pelatihan riset menceritakan inspirasinya saat mengikuti pelatihan. Saat ini, Raya menjadi salah satu pemandu wisata di kawasannya dan memiliki website yang membantu mempromosikan kawasan Punggu Alas menjadi area untuk pengamatan orangutan sarana dan prasarana pendukung untuk merealisasikan ekowisata dikembangkan. Bersama tim taman nasional, pemerintah desa, simpul wisata, Punggu Alas disahkan menjadi Pusat Informasi, Riset dan Wisata Alam. Guest house dan 32 tracking pengamatan orangutan liar dibangun. Para peneliti menetap di pusat informasi ini untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengamatan mereka. Bahkan, para pemandu wisata dan wisatawan-pun bisa menginap di pusat informasi ini sebelum mereka melakukan tracking. Karena Punggu Alas adalah kawasan gambut dan tidak luput dari kerentanan bahaya kebakaran di musim kemarau sehingga perlu diupayakan perlindungan agar terhindar dari kebakaran hutan dan lahan. Pengamanan kawasan gambut dengan pelibatan aktif masyarakat, termasuk kegiatan restorasi berupa penanaman kembali area yang dulunya menjadi area penebangan liar. Pembangunan sekat kanal juga dilakukan bertujuan untuk mempertahankan tinggi muka air tanah dan mengurangi risiko kebakaran. Kanal ini juga akan memulihkan vegetasi yang terbakar dan berkontribusi menambah luasan hutan. Penanaman pohon dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan pakan dan sarang bagi orangutan. Masyarakat secara rutin bergotong-royong membersihkan akses menahan kebakaran hutan, masyarakat melakukan patroli untuk mitigasi dan adaptasi terhadap kemungkinan timbulnya titip api atau kebakaran di kawasan mereka. Sampai saat ini, masyarakat masih terus melakukan kegiatan patroli pada saat musim kemarau. Proses yang tidak kalah penting adalah riset orangutan karena keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan spesies ini. Masyarakat memonitor kestabilan populasinya. Identifikasi dan dokumentasi dilakukan oleh sejumlah warga dengan bantuan pengarahan kolaboratif dari semua pihak yang mendukung pengembangan Simpul Wisata Punggu Alas. Pendokumentasian orangutan untuk diketahui status identifikasinya dan pemberian nama agar bisa masyarakat setempat sangat penting karena secara menyeluruh semua hal dilakukan untuk menciptakan satu alternatif ekonomi yang berkelanjutan. Masyarakat perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang orangutan, baik dari sisi habitat maupun isu lain yang berkaitan. Mereka harus memahami mengapa penting menjaga kawasan mereka. Berbekal kesadaran dan pengetahuan, masyarakat menjadi pelaku utama penjaga kawasan agar yang panjang dilakukan secara kolaboratif membuahkan perubahan pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat. Sekarang masyarakat dan pihak lain aktif pada kegiatan konservasi, Mereka paham dengan menjaga hutan, habitat dan orangutannya, ada harapan baru yang menopang penghidupan. Mereka turut berpartisipasi penuh dalam menguatkan ekowisata di desanya untuk penguatan alternatif mata pencaharian. Bahkan, mereka mengalokasikan kawasan desa untuk kawasan ekowisata, termasuk dijadikan sebagai hutan desa. Desa Jahanjang, Desa Karuing, dan Desa Baun Bango menjadi Simpul Wisata Punggu Alas. Mayoritas wisatawan yang mengunjungi Simpul Wisata ini merupakan wisatawan mancanegara. Sejak tahun 2015, wisatawan yang mengunjungi kawasan ini tercatat berasal dari 20 negara. Sebelum pandemi melanda, dengan perkiraan 2-3 kunjungan per-bulan, kelompok ekowisata bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp Harga paket wisata tentunya bergantung juga pada paket yang diambil oleh wisatawan.“Kami menawarkan kegiatan pengamatan orangutan yang berbasis riset pada wisatawan karena mereka sangat tertarik dengan riset orangutan,” Raya menjelaskan paket wisata yang bersambut, dukungan positif muncul dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Pemerintah aktif memberikan pendampingan hingga menganggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pada tahun 2019, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Restorasi Gambut dan Simpul Wisata bekerja sama dalam pembuatan sekat kanal dan pembangunan sarana prasarana berupa dua buah guest house tambahan. Mereka juga melakukan kerja sama dengan beberapa operator wisata seperti WoW Borneo, Blue Betang, dan operator pribadi lainnya guna mempublikasikan dan mempromosikan Simpul Wisata tak akan pernah mengkhianati usaha. Titik api menurun di kawasan di mana masyarakat bahu-membahu melindungi hutan dan tidak melepaskan hutannya. Bahkan berdasarkan data hotspot 2015-2020 sumber KLHK/LAPAN, tidak ada kebakaran hutan di kawasan Punggu Alas sejak tahun 2015. Hal ini tentu tidak luput karena berhasilnya kegiatan restorasi pembuatan sekat kanal, penghutanan kembali dan aktifnya masyarakat yang melalui kelompok Masyarakat Peduli Api melakukan patroli di kawasan tersebut. Masyarakat dari tiga desa tersebut bahu membahu menjaga dan menyelamatkan kawasan Punggu Alas dan bekerja dengan aktif membantu kantor Taman Nasional Rumah yang Masih Berlanjut Kisah perjalanan Simpul Wisata Punggu Alas ini merupakan cerminan bahwa masyarakat selalu berakar dan tergantung hidupnya dari sumber daya alam yang lestari. Dengan makin meningkatnya kesadaran menjaga hutan dan rasa memiliki hutan yang sangat tinggi melalui kegiatan ekowisata, masyarakat menjadi pelaku utama pelaksanaan program konservasi habitat orangutan dan pengelolaan sumber daya alam. Mimpi masih terus berlanjut. Tahun 2020, Desa Karuing mendapatkan perijinan perhutanan sosial dalam bentuk hutan desa berdasarkan SK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. 10379/MENLHK-PSKL/PKPS/ Dengan adanya hutan desa ini, proses penguatan masyarakat semakin gigih dilakukan. Pembuatan paket wisata dikembangkan dan masyarakat menjadi lebih aktif menyiapkan variasi paket wisata untuk menggaet wisatawan lokal dan wisatawan masih panjang, mimpi masih dirajut. Namun, kolaborasi semua pihak dan kesadaran masyarakat menjaga kawasannya akan mewujudkan mimpi tersebut. Mayoritasmasyarakat Pulau Pari memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani rumput laut. Penurunan pendapatan mayoritas masyarakat memerlukan solusi dalam bentuk alternatif mata pencaharian dengan mengoptimalkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) di Pulau Pari berupa pariwisata bahari. Global economic value of shark ecotourism Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia – sebuah negara kepulauan yang beragam dengan lebih dari 300 kelompok etnis – telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sejak berhasil mengatasi krisis keuangan Asia pada akhir ini, Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, ekonomi terbesar kesepuluh di dunia dalam hal paritas daya beli. Indonesia juga telah meraih capaian luar biasa dalam pengurangan kemiskinan dengan menurunkan lebih dari separuh angka kemiskinan sejak tahun 1999 menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2019 sebelum pandemi COVID-19 melanda. Tahun Ini Indonesia memegang Presidensi G20, mendorong semua negara anggotanya untuk bekerja sama dalam mencapai pemulihan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan dari berbagai dampak pembangunan ekonomi Indonesia mengikuti rencana pembangunan jangka 20 tahun, dari tahun 2005 hingga 2025. Rencana tersebut dibagi menjadi rencana jangka menengah 5 tahun yang disebut RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, masing-masing dengan prioritas pembangunan yang berbeda. Rencana pembangunan jangka menengah yang berjalan saat ini merupakan tahap terakhir dari rencana pembangunan jangka 20 tahun tersebut di atas. Rencana pembangunan ini bertujuan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dengan meningkatkan modal manusia dan daya saing di pasar kondisi perekonomian yang terdampak oleh pandemi, status Indonesia berubah dari negara berpenghasilan menengah ke atas menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah mulai Juli 2021. Pandemi juga secara sebagian mengurangi kemajuan terakhir dalam pengurangan kemiskinan, dari angka terendah yang pernah dicapai yaitu 9,2 persen pada September 2019 menjadi 9,7 persen pada September proses pemulihan perekonomian, pada tahun 2022 pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan mencapai 5,1 persen , didukung oleh meningkatnya ekspor komoditas serta kebijakan fiskal yang bersifat akomodatif untuk mengatasi pandemi. Namun demikian, kondisi global yang semakin menantang dan berbagai dampak berkepanjangan dari COVID-19 dapat menghambat pemulihan tersebut. Indonesia mampu mencatatkan keberhasilan dalam mengurangi angka stunting dari 37 persen pada tahun 2013 menjadi 24,4 persen pada tahun 2021. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan pembangunan modal manusia Indonesia yang kuat dan produktif. Indeks Modal Manusia Bank Dunia mengungkap bahwa hilangnya pembelajaran yang disebabkan oleh penutupan sekolah-sekolah selama pandemi COVID-19 akan berdampak pada generasi penerus Dunia mendukung dilaksanakannya tanggap darurat COVID-19 oleh pemerintah Indonesia, termasuk upaya penguatan unsur-unsur tanggap darurat pandemi, dukungan bagi program vaksinasi COVID-19 gratis pemerintah, peningkatan bantuan sosial maupun sistem perawatan kesehatan, serta berbagai tindakan yang diambil untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan. Di Indonesia, perubahan iklim dapat berdampak pada ketersediaan air, kesehatan dan gizi, pengelolaan risiko bencana, serta pembangunan wilayah perkotaan – khususnya di kawasan pesisir, yang berimplikasi pada kemiskinan dan memiliki hutan hujan tropis ketiga terluas di dunia 94,1 juta hektare, dan merupakan tempat bagi lahan gambut terbesar di dunia 14,9 juta hektare serta hutan bakau 3,31 juta hektare. Beragam sumber daya alam tersebut menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar yang dapat mengurangi berbagai dampak perubahan iklim, sangat penting bagi kelangsungan mata pencaharian rakyat Indonesia, serta mendukung pembangunan jangka panjang Indonesia. Bank Dunia mendukung berbagai upaya Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan maupun beradaptasi terhadap iklim dalam rangka menjalankan suatu aksi iklim yang berdampak di sektor-sektor seperti tata guna lahan, kelautan, dan energi, serta dengan menggerakkan keuangan untuk iklim climate financing. Adapun kegiatan Bank Dunia termasuk dukungan terkait program pemerintah Indonesia dalam Rehabilitasi Mangrove Nasional serta perancangan dan penerapan beberapa instrumen penetapan harga karbon carbon pricing karena peran pentingnya dalam meningkatkan pendanaan bagi berbagai aksi iklim. Pembaharuan Terakhir 5 April 2022 Adatiga jenis program mata pencaharian adaptif yang dimulai masyarakat dampingan yakni pertanian organik, perikanan air tawar dan pembuatan makanan ringan. Untuk pertanian organik terdapat satu kelompok yang dikelola 15 kepala keluarga, perikanan darat dikelola tujuh kepala keluarga dan makanan ringan sebanyak enam kepala keluarga.