Dalamwawancara khusus sebagai Millennial Mama of The Month edisi Agustus 2020, Fanny membagikan ceritanya tentang hal ini. Ia menyebut bahwa sebenarnya tanpa disadari orangtua, kita sudah mengenalkan anak gadget sejak ia dalam kandungan. Bahkan ketika ia baru lahir pun sebenarnya anak sudah mulai mengenal gadget.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. 15 PERTANYAAN UNTUK MENGUKUR APAKAH ANDA PERLU DI THERAPY KARENA KECANDUAN GADGETKecanduan adalah keterlibatan terus menerus dengan sebuah zat atau aktivitas tertentu, meskipun hal tersebut mengakibatkan konsekuensi negatif. Ketidakmampuan melakukan kontrol diri atas keinginan yang bersifat kompulsif ini dapat mengakibatkan pengaruh buruk terhadap fisik dan psikologi. Salah satu kondisi kecanduan yang seringkali bahkan tidak disadari oleh kita, adalah kecanduan kita terhadap gadget baca smartphone-internet-media sosial.Dr. David Greenfield, dari The Center of Internet and Technology Addiction, West Hartford telah melakukan penelitian mengenai kecanduan terhadap smartphone. Penelitian ini dimulai dengan melakukan survai sederhana melalui 15 pertanyaan sebagai berikut. Anda dapat memanfaatkan survai ini untuk mengukur tingkat kecanduan anda terhadap gadget. Jawablah ke 15 pertanyaan ini dengan jawaban "ya" atau "tidak", mari kita mulaiApakah anda menyadari bahwa waktu anda banyak tersita oleh penggunaan gadget?Apakah anda menyadari bahwa ketika setiap ada waktu luang, otomatis perhatian anda sudah pada gadget?Apakah anda sering mendapati diri anda lupa waktu ketika asyik dengan gadget?Apakah anda menggunakan waktu untuk texting, media sosial dan internet lebih banyak dari waktu anda bertemu dan berbicara dengan orang lain?Apakah waktu yang anda gunakan bersama gadget semakin bertambah banyak ?Apakah anda berharap untuk dapat mengurangi waktu penggunaan gadget anda?Apakah ketika anda tidur, gadget anda berada di bawah bantal atau di sekitar tempat tidur?Apakah setiap jam, anda selalu mengecek dan menjawab gadget, meskipun hal itu menyela apa yang sedang anda kerjakan?Apakah anda menggunakan gadget saat mengemudi atau di saat melakukan pekerjaan yang membutuhkan focus dan konsentrasi penuh?Apakah anda sudah merasa bahwa penggunaan gadget anda telah mengurangi produktifitas anda?Apakah anda merasa ada sesuatu yang kurang ketika tidak bersama gadget anda, meskipun sebentar?Apakah anda segera merasa tidak nyaman ketika gadget anda tertinggal atau tidak dapat sinyal? Apakah gadget anda berada di dekat piring di atas meja ketika anda sedang makan?Apakah ketika gadget anda berbunyi/memberi notifikasi atau bergetar karena ada pesan yang masuk, anda merasakan dorongan sangat kuat untuk segera mengeceknya?Apakah anda selalu mengecek dan melihat berulangkali gadget anda, meskipun tidak ada notifikasi ataupun pesan penting yang anda tunggu? Menurut apabila anda mendapati minimal ada 8 delapan jawaban "ya" pada pertanyaan di atas, maka anda sudah berada pada situasi kecanduan. Bagaimana hasil jawaban anda? Sepertinya anda sudah mulai tersenyum-senyum menyadari. Sayangnya situasi ini tanpa kita sadari perlahan tapi pasti akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik dan psikologi kita, apalagi bila dikaitkan dengan kualitas hubungan kita bersama keluarga, yang seringkali waktu berharga bersama keluarga yang kita korbankan. Dahulu sebelum memahami dan mempraktekkan ilmu NLP Neuro Linguistic Program, saya memiliki 15 lima belas jawaban "ya" pada kasus pertanyaan di atas. Dengan mempraktekkan NLP saya dapat melakukan kontrol diri sepenuhnya atas apa yang akan dan harus dilakukan. Apakah itu NLP dan bagaimana memanfaatkan NLP dalam keseharian kehidupan kita, mari kita pelajari D TujuantoPembelajar NLP Lihat Lyfe SelengkapnyaPengumpulandata penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan pencatatan. Uji validitas menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data (2020) yang melakukan penelitian mengkaji tentang dampak negatif kecanduan gadget terhadap perilaku anak usia dini dan penanganannya di paud ummul habibah. Penelitian ini
Halodoc, Jakarta – Seiring perkembangan teknologi, gadget saat ini pun sudah berkembang menjadi semakin canggih. Kamu dapat melakukan banyak hal dengan hanya melalui satu alat elektronik yang kecil ini. Karena itu, hampir semua orang, terutama anak milenial selalu membawa gadget dimanapun dan kemana pun mereka pergi. Coba perhatikan, apakah kamu termasuk salah satu anak zaman sekarang yang kecanduan gadget? Hati-hati, ini dampaknya bagi memang menjadi sarana yang sangat membantu dan memudahkan kita untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Banyak hal yang bisa dilakukan melalui gadget, mulai dari membaca buku, menonton film, browsing, melakukan transaksi keuangan, memesan makanan, bermain, dan masih banyak lagi. Karena itu, hampir semua orang tidak bisa menjalani kegiatannya satu haripun tanpa ada gadget di dekatnya. Sindrom kecanduan gadget ini dinamakan nomofobia yang berasal dari istilah “no-mobile-phone-phobia”. Sebenarnya sindrom ini menyerang banyak orang dari berbagai kalangan dan usia. Namun, golongan yang paling banyak terkena sindrom nomofobia ini adalah anak-anak milenial yang sangat suka dan selalu ingin update dengan hal-hal Kecanduan GadgetBanyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terkena sindrom nomofobia alias kecanduan gadget. Tingkat kecanduan orang pun berbeda-beda. Mulai dari kondisi yang ringan, hingga yang cukup parah. Berikut ini beberapa tanda dari kecanduan gadget yang perlu diperhatikanSaat kamu kecanduan gadget, kamu akan langsung mencari gadget saat membuka mata di pagi tidak bisa melewati hari tanpa menggunakan akan merasa cemas yang luar biasa jika baterai smartphone sudah sangat rendah atau bahkan selalu ingin mengecek gadget-mu tiap 5 menit selalu menggenggam gadget-mu ketika melakukan aktivitas apapun, entah itu sedang makan, berjalan, bahkan ke minimal 3 dari 5 poin di atas tepat menggambarkan keadaanmu saat ini, maka kamu sudah terkena sindrom Kecanduan GadgetJangan menyepelekan sindrom kecanduan gadget ini, karena kebiasaan ini bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan1. Gangguan MataMata yang terlalu sering digunakan untuk menatap layar gadget akan menjadi kering dan timbul rasa panas. Jika kecanduan gadget ini dibiarkan terlalu lama, maka mata bisa lelah, terasa tidak nyaman, merah, dan timbul gangguan penglihatan, seperti penglihatan menjadi kabur, minus mata bertambah, dan Mengganggu Pola TidurSalah satu ciri anak yang kecanduan gadget adalah tidak bisa berhenti bermain gadget, bahkan sampai larut malam. Bermain gadget memang bisa menimbulkan ketagihan yang akan membuatmu susah untuk berhenti. Akhirnya jam tidurmu akan terganggu, bahkan jika dibiarkan terlalu lama, kamu bisa mengidap insomnia. Jika waktu tidur yang dibutuhkan tubuh tidak terpenuhi, maka berbagai penyakit dan gangguan kesehatan mudah Postur Tubuh Jadi BungkukAnak yang kecanduan gadget tanpa sadar sering menundukkan leher untuk melihat gadget-nya. Ketika leher condong ke depan dan menunduk saat asyik bermain gadget, beban leher dan tulang belakang jadi bertambah besar karena harus menopang beban kepala, sehingga bisa menyebabkan leher dan punggungmu terasa nyeri. Jika dibiarkan terlalu lama, maka akan berdampak pada postur tubuhmu yang jadi Mengganggu StudiOleh karena tidak bisa berhenti bermain gadget, kegiatan belajar anak yang memiliki sindrom nomofobia ini pun biasanya akan terganggu. Hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain gadget dan ia sulit untuk berkonsentrasi saat belajar di sekolah, sehingga akhirnya prestasi di sekolah pun jadi menurun. sering bermain gadget membuat seseorang kurang melakukan aktivitas fisik. Hal ini sangat terkait dengan kondisi obesitas. 6. Kurang BersosialisasiPernah mendengar ungkapan “gadget mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat”? Nyatanya, kecanduan gadget menyebabkan anak milenial hanya ingin berkomunikasi melalui aplikasi chatting yang ada di gadget saja dan enggan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, hubungan pertemanan bahkan keluarga pun jadi merenggang karena gadget. Jadi, jika kamu mulai merasa kecanduan gadget, cobalah untuk segera mengatasinya dengan belajar memfokuskan diri kepada kegiatan lainnya yang bermanfaat selain bermain gadget, seperti sering-sering mengobrol dengan teman atau keluarga, belajar, dan berolahraga. Kamu juga bisa meminta saran kesehatan kepada dokter melalui aplikasi Halodoc. Di Halodoc, kamu bisa menghubungi dokter melalui Chat dan Voice/Video Call. Kamu juga bisa membeli obat atau vitamin kesehatan di Halodoc. Caranya sangat mudah, tinggal order lewat aplikasi dan pesananmu akan diantarkan dalam waktu satu jam. Yuk, download aplikasi Halodoc sekarang di App Store dan Google Well Family. Diakses pada 2021. The Harmfull Effects of Too Much Screen Time for Kids
Kecanduangawai (gadget) telah jadi candu non-narkoba terbesar. Bahkan, ada sebuah penelitian yang menunjukkan hasil scan otak remaja dengan internet addiction disorder (IAD); hasilnya sama dengan otak orang-orang yang kecanduan alkohol, kokain atau ganja.
WONOSARI, KH— Smartphone/Tablet, merupakan alat yang muncul di Era Digital. Alat-alat tersebut, kini begitu dekat dengan kehidupan siswa dan anak sejak kecil. Namun, tahukah, aktifitas apa yang siswa/anak lakukan dengan alat-alat tersebut?, Seringkali kita tidak tahu atau tidak mau tahu. Tidak punya waktu dan sibuk, sering jadi alasannya. Game yang tidak baik dan konten Porno seringkali muncul tanpa disadari, di smartphone/ televisi/ tablet milik mereka. Selaku guru/orang tua, mungkin baru sadar, jika siswa/anak sendiri tiba-tiba berubah sikapnya. Menjadi pemurung, senang menyendiri, tidak percaya diri, sering berbohong, dan sederet sikap-sikap kurang baik lainnya, muncul jika siswa/anak sampai pada tahap kecanduan terhadap apa yang ada di smartphone/televisi/tablet mereka. Sebenarnya, Internet dan alat-alat tersebut, dengan pemahaman dan bimbingan yang tepat, bisa digunakan untuk menunjang proses belajar siswa/ anak. Sayangnya, kebijakan melarang smartphopne HP cerdas di lingkungan sekolah, ikut andil membonsai fungsi tersebut. Kemudian, siswa/anak bereksplorasi mandiri, bebas lepas tanpa pemahaman dan bimbingan yang tepat, sampai akhirnya pada tingkat kecanduan. Jika sudah seperti ini, lantas langkah bijak apa yang harus dilakukan, selaku guru atau orang tua, untuk menjaga agar siswa/anak tidak sampai kecanduan. Berkaca dari fenomena di atas, Psikiater dr. Ida Rochmawati, Sp. KJ dalam sebuah Seminar yang diselenggarakan Ikatan Guru Indonesia IGI yang mengulas pengaruh “Gadget dan Internet” beberapa waktu lalu berbagai ilmu, langkah bagaimana menyikapi anak yang kecanduan gadget. Ia mengajak melihat dengan perspektif yang bijak bukan sekedar mencari kesalahan tapi mencari penyebabnya, bukan sekedar “merampas” gadget tapi mencari substitusi dan solusi. Dalam pembahasannya, dr Ida menjabarkan mengenai seluk beluk otak manusia, Otak memiliki semacam narkoba alami yakni neurotransmitter dopamin dan endorphin yang memberikan efek senang. “Pengeluaran neurotransmitter tersebut distimulus bila seseorang melakukan hal yang berpestasi, menantang ataupun menyenangkan seperti menggunakan rokok, zat adiktif dan “bermain” gadget,” kata dia beberapa waktu lalu. Sambung dia, Dengan bermain gadget, neurotransmitter tersebut bisa keluar dengan mudah tanpa harus berprestasi atau melakukan sesuatu yang menantang, akibatnya otak menjadi malas dan produktivitas berkurang. Gadget dan Distress Ia menilai, remaja sekarang banyak mengalami distress akibat stresor psikososial, orang tua dan guru sering melihat distress sebagai kenakalan ketika perilaku anak tidak sesuai dengan harapan dan norma etika pada umumnya. “Mereka merasa tidak mengerti, tidak diterima dan merasa sendirian. Gadget seolah menjadi teman baik yang bisa mengerti dirinya, merasa diterima dan menjadi tempat melarikan diri dari realita yang menyakitkan,” urai dokter RSUD Wonosari dan RS PKU Muhammadiyah ini. Disebutkan cirri-ciri anak atau pelajar yang mengalami kecanduan Gadget, diantaranya; 1. Gelisah bila tidak memegang gadget termasuk ke kamar mandi, tidur dan sebagainya, 2. Dorongan untuk selalu memainkan perangkat gadget, 3. Menjadi lebih mudah marah bila dipisahkan dari gadget, 4. Rela melakukan apa saja demi gadget, 5. Menghabiskan sebagian besar harinya bersama gadget dari pada melakukan aktivitas yang produktif. Bagaimana cara mengatasinya? Berdasar dari tinjauan ilmu psikologi, beberapa hal ini dapat dilakukan untuk mengatasi kecanduan gadget, pertama cari penyebab bukan sekedar menyalahkan, lalu diskusikan jalan keluar bersama keluarga, sekolah, buat kesepakatan bersama, berikan aktivitas pengganti. “Dampingi, libatkan kelompok sebaya dan jika perlu meminta bantuan ahli,” ulasnya. Perlu meminta bantuan ahli, ia merinci apabila kecanduan menyebabkan, gangguan emosional dan ledakan emosi, mengalami gangguan tidur, penurunan prestasi belajar yang nyata, fungsi peran dan social, serta erdampak pada gangguan fisik. Instropeksi bagi semua pihak perlu dilakukan perlunya memperhatikan serius hal-hal berikut agar gadget tidak berpengaruh buruk bagi generasi muda, adanya teladan, kualitas waktu, sistem sosial yang bergeser, dekadensi moral, serta aspek religi tak boleh dikesampingkan. Kandar Komentar Komentar
AnneliaSari Sani, seorang psikolog anak, memberikan tips mencegah anak kecanduan gadget. 1. Batasi pemakaian gadget maksimal dua jam Anak di atas dua tahun, hanya boleh berada di depan layar komputer, televisi atau ponsel pintar maksimal selama dua jam setiap harinya.
Alat elektronik seperti HP, laptop, atau komputer sudah menjadi bagian dari kehidupan modern terutama bagi anak-anak muda untuk berhubungan dengan dunia article contains content that is no longer sebagian kemudian seperti tidak bisa melepaskan diri dari berbagai gadget tersebut. Sebagian lagi kemudian berusaha memperbaikinya dengan puasa media sosial seperti yang dilakukan beberapa mahasiswa asal Indonesia di sini."Lebih dari 50 persen generasi muda mengecek telepon genggam mereka setiap 30 menit atau kurang. Jadi memang hampir setiap saat main HP," kata Profesor Genevieve Bell, antropolog Australia dalam wawancara dengan ABC."Penggunaan telepon genggam lain tiap generasi dan ini menarik menurut saya. Kalau anak muda akan lebih sering menggunakan, dan biasanya mereka akan pakai untuk media sosial."Pernyataan tersebut berasal dari survei yang dilakukan ABC pada tahun 2017 melibatkan partisipan di tersebut juga mengatakan bahwa semakin muda usia seseorang, semakin sering bagi mereka untuk menggunakan telepon genggam mereka lebih dari tiga jam per hitungan jam, bagi Nehemia Cevin Untu mahasiswa asal Batam yang mengaku pernah kecanduan media sosial, frekuensi pengecekan Instagram adalah sebanyak lima sampai tujuh menit sekali."Apa-apa selalu periksa media sosial. Bahkan setiap lima sampai tujuh menit. Itu kan berbahaya sebenarnya. Dulu ketika kecanduan Instagram bahkan saya selalu menunggu pemberitahuan."Mahasiswa Musik di Planetshakers College, Melbourne ini mengatakan juga sempat kebiasaan melakukan scroll pada halaman media sosial tanpa alasan yang ia merasa beruntung karena mengenal kegiatan "detoks digital" dari lingkaran pertemanannya di kampus."Saya tahu tentang detoks dari teman-teman sekolah. Mereka juga melakukan ini bahkan sampai menamakannya bukan detoks, tapi puasa media sosial."Calvina Amanda Wijaya juga mengetahui tentang detoks digital dari seorang teman yang menurutnya merasa enak dan rileks setelah berhenti menggunakan Instagram."Saya tidak tahu dia awalnya bagaimana. Tapi teman saya bilang setelah detoks dari Instagram jadi lebih enak dan rileks hidupnya. Terus saya jadi mau coba."Ia mengatakan sadar kecanduan media sosial setelah bermimpi tentang akun Instagram teman SMA nya yang terlalu sering ia lihat selama kurang lebih empat bulan."Kalau dulu saya suka nge-stalk satu teman SMA yang kaya dan cantik. Dia kuliah di London dan barang-barangnya semua branded yang di-post di Instagram," kata mahasiswi S2 Akuntansi dan Pemasaran di Melbourne itu."Saya stalk dia terus sampai pernah terbawa mimpi. Dan sejak mimpi itu, saya sadar kalau ada yang salah."Hidup berubah karena detoks digitalDefinisi dari detoks digital menurut Profesor Dr. Daniel Angus dari University of Queensland adalah suatu cara untuk secara sadar mengambil waktu istirahat dari perangkat digital dan mengalami kehidupan sehari-hari sudah merasakan dampak positif dari detoks digital setelah dua minggu tidak memiliki aplikasi Instagram di telepon genggamnya."Sejauh ini oke, sih, soalnya setiap mau melihat Instagram, [saya ingat] kalau sudah uninstall, jadi tidak bisa stalk lagi. Rasanya lebih lega dan bebas menjalani hidup. Tanpa membandingkan dengan yang lain."Cevin yang sudah mempraktekkan detoks digital selama tiga minggu mengatakan dapat menggunakan lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan yang berguna di waktu luang."Saya berhenti main Instagram karena dulu saya lebih sering menggunakan waktu untuk melihat orang di media sosial, menyibukkan hidup mereka dan sebagainya," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia. Sebelum detoks digital, Calvina Amanda Wijaya selalu mengecek Instagram setiap bangun tidur dan melihat profil teman SMA nya hingga terbawa mimpi.Foto supplied"Dan ketika saya lakukan detoks, hidup saya berubah dan dampaknya jauh sekali. Saya jadi produktif karena bisa pakai waktu luang untuk melakukan hal berguna dan tidak membuat stress."Kevin Deon Lonardy, mahasiswa Sekolah Alkitab di Melbourne, awalnya enggan melakukan detoks digital meski sering melihat video tentang topik tersebut di Youtube."Beberapa kali saya lihat video di Youtube soal orang yang detoks media sosial. [Waktu itu] tidak ada kesadaran jadi pengen detoks," kata Kevin yang akhirnya memutuskan untuk berhenti main Instagram selama 10 hari."Sampai saya merasa buang-buang waktunya parah baru saya lakukan detoks."Setelah melakukan detoks digital, Kevin mengatakan tidak sedikit-sedikit membuka Instagram dan punya "rem" ketika sudah terlalu lama menatap media sosial tersebut."Sekarang [main Instagram] sifatnya lebih disengaja, seperti misalnya buka Instagram selama 10-15 menit setelah mengerjakan tugas. Setelah itu sadar sendiri, 'Eh, sudah kelamaan. Harus balik kerja atau melakukan aktivitas produktif.'" kata Kevin bukan akhir segalanyaKetakutan tidak dapat dipungkiri ketika mau memulai kebiasaan baru. Hal ini dialami Kevin saat mau memulai kebiasaan detoks digital."Secara psikologi, [berhenti menggunakan Instagram] memunculkan rasa ketakutan ketinggalan apa yang sedang terjadi di dunia," kata mahasiswa yang menggunakan Instagram untuk belanja sepatu itu."Jadi media sosial seakan-akan jendela dunia, awalnya gatal sekali mau buka, tapi dibuat disiplin dan ditahan-tahan. Setelah empat sampai lima hari sudah tidak jadi masalah tanpa Instagram."Namun, pikiran tersebut tidak benar. Melalui detoks digital, Kevin justru menyadari sisi negatif dari terlalu lama bermain Instagram."Tidak [rugi] sih, malah keuntungannya saya jadi tidak khawatir melihat apa yang terjadi di luar," katanya."Yang saya sadari pada akhirnya, di Instagram kita cuma melihat kehidupan orang lain [dan] kalau kita tidak benar-benar kontrol diri, kita akan membandingkan keadaan kita sekarang dengan mereka yang 'terlihat' bahagia."Menurut pernyataan Dr. Angus, hal yang dirasakan Kevin sifatnya biasa di kalangan remaja yang pada umumnya dikelilingi oleh pengguna media sosial."Sulit memang rasanya untuk menarik diri dari teknologi ini apalagi kalau ada di dalam lingkaran sosial yang aktif menggunakannya sebagai media komunikasi utama."Menurutnya, hal ini disebabkan karena pengguna telepon genggam yang mayoritas adalah remaja sudah ketergantungan dengan perangkat yang mudah dibawa kemana-mana itu. Kevin Deon awalnya merasa takut tertinggal akan informasi terbaru sebelum menjalani detoks digital yang berakhir sukses.Foto suppliedTeknologi, cerita lama diperbaharuiProfesor Genevieve Belle menyadari meningginya angka kecanduan media sosial di kalangan anak muda. Walau demikian, ia mengatakan bahwa prasangka terhadap teknologi selalu ada dari dulu."Penting untuk diingat bahwa pemikiran tentang sehat atau tidaknya berinteraksi dengan teknologi itu bukan pertama kalinya kita alami," katanya."Saya besar di tahun '70 dan '80-an di Australia dan saya ingat percakapan-percakapan di masa itu tentang televisi, apakah harus punya atau tidak, duduknya harus jauh atau dekat, dan sebagainya."Walau adalah 'cerita lama', ia mengatakan bahwa teknologi sekarang menawarkan interaksi langsung yang menarik hati para penggunanya."Menurut saya yang baru dari [teknologi saat] ini adalah kesengajaan dari proses perancangannya dan juga bagaimana teknologi zaman sekarang memberikan arus balik langsung," kata dia."Jadi televisi tidak tahu kalau Anda sedang menontonnya, tapi telepon genggam tahu Anda sedang menggunakannya."Dr. Angus dari University of Queensland mengatakan bahwa generasi muda hari ini tumbuh besar bersama kemudahan yang ditawarkan teknologi hari ini dan sudah terbiasa dengannya."Perangkat-perangkat ini mengikuti mereka kemanapun mereka pergi. Dan di dalamnya, terdapat kemudahan berkomunikasi yang sudah meresap dalam diri," katanya."Hal ini yang membedakan mereka dengan generasi sebelumnya."Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia Posted 30 Oct 2019Wed 30 Oct 2019 at 617am, updated 30 Oct 2019Wed 30 Oct 2019 at 644am
3 Terapi Kognitif. Untuk terapi yang satu ini memang sedikit lebih rumit, pasalnya terapi kognitif biasa digunakan untuk hal yang sifatnya candu. Misal sang anak sangat kecanduan game online, maka dari itu orang tua harus memodifikasi pikiran anak agar mengalihkan kecanduannya ke hal yang lebih bermanfaat. Biasanya, terapi kognitif akan lebih
Someone who use gadget in the right way will get benefits. Meanwhile, people who can not control gadget itself will get some negative impact. One of negative impact is people will become addicted in gadget. This research finds the behavior of gadget addicted for students based on respectful framework. This research is qualitative descriptive design. Research instruments are interview, observation, and documentation. The primary informants come from two students of Junior High School 1 Karangrejo who also being the subject of research. Meanwhile, the proponent informant come from parents from two students who are the subject of research and school counselor. It's meant assessment by respectful framework has differences behavior and factors that influence student behaviors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Konselor Volume 7 Number 3 2018 ISSN Print 1412-9760 – Online 2541-5948 DOI Received May 28, 2018; Revised October 13, 2018; Accepted November 30, 2018 116 Student Gadget Addiction Behavior in the Perspective of Respectful Framework Frida Putri Wardhani1 1Univeritas Negeri Surabaya *Corresponding author, e-mail fridaputri95 Abstract Someone who use gadget in the right way will get benefits. Meanwhile, people who can not control gadget itself will get some negative impact. One of negative impact is people will become addicted in gadget. This research finds the behavior of gadget addicted for students based on respectful framework. This research is qualitative descriptive design. Research instruments are interview, observation, and documentation. The primary informants come from two students of SMP Negeri 1 Karangrejo who also being the subject of research. Meanwhile, the proponent informant come from parents from two students who are the subject of research and school counselor from SMP Negeri 1 Karangrejo. It's meant assessment by respectful framework has differences behavior and factors that influence student behaviors. Keyword Gadget addiction, respectful framework, multiculture Perilaku Kecanduan Gadget Siswa dalam Perspektif Kerangka Kerja Respectful Abstrak Seseorang yang menggunakan gadget dengan cara yang benar akan mendapatkan banyak manfaat. Sementara itu, orang yang tidak dapat mengendalikan penggunaan gadget akan mendapatkan beberapa dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah kecanduan gadget. Tujuan penelitian ini adalah menemukan perilaku kecanduan gadget untuk siswa berdasarkan respectful framework. Penelitian ini merupakan desain deskriptif kualitatif. Instrumen penelitian adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan utama berasal dari dua siswa SMP Negeri 1 Karangrejo yang juga menjadi subjek penelitian. Sementara itu, informan pendukung berasal dari orang tua dari dua siswa yang menjadi subjek penelitian dan guru BK dari SMP Negeri 1 Karangrejo. Itu berarti penilaian oleh respectful framework memiliki perbedaan perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa. Kata Kunci Kecanduan gadget, respectful framework, multikultural How to Cite Wardhani, F. P. 2018. Student Gadget Addiction Behavior in the Perspective of Respectful Framework. Konselor, 73, 116-123. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use , distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. ©20 18 by author Pendahuluan Di era globalisasi yang maju ini perkembangan teknologi Megantara & Suryani, 2016 dan informasi sangat pesat Aini, Graha, & Zuliana, 2017; Budiman, 2017; Laurent, 2016. Teknologi merupakan sesuatu hal yang dibutuhkan oleh manusia. Teknologi juga akan sangat membantu setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia Setyowati, Isthika, & Pratiwi, 2016; Sihotang & Siboro, 2016. Salah satu teknologi yang banyak dipakai adalah gadget Fajrin, 2015; Manumpil, Ismanto, & Onibala, 2015. Apabila penggunaan gadget dapat dilakukan dengan bijak, manusia akan mendapatkan banyak manfaat dari penggunaan gadget Kamil, 2017. Tetapi jika penggunaan gadget tidak dapat dikontrol akan menimbulkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang diperoleh yakni ketergantungan atau kecanduan gadget itu sendiri. Gadget dapat dimaknai sebagai suatu alat yang dapat dengan mudah terkoneksi dengan internet. KONSELOR ISSN 1412-9760 117 Kecanduan gadget merupakan aktivitas atau perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan akan menimbulkan dampak negatif jika perilaku tersebut tidak dapat dikontrol Nene & Gupta, 2018. Salah satu hal yang akan sangat berpengaruh jika seseorang sudah ketergantungan menggunakan gadget yakni banyaknya waktu yang tersita untuk bermain gadget. Dalam era globalisasi ini banyak anak-anak usia remaja yang sudah menggunakan gadget, bahkan para remaja ini lebih pintar menggunakan gadget daripada orang dewasa. Pada anak usia remaja, mereka akan cenderung lebih mudah mempelajari sesuatu hal yang berkaitan dengan gadget dibandingkan dnegan orang dewasa. Hal tersebut dikarenakan pada perkembangan anak usia remaja mempunyai rasa ingin tahu yang lebih besar Maimunah & UMM, 2015; Muslihatun & Santi, 2015; Yutifa & Dewi, 2015 dibandingkan dengan orang dewasa. Orang dewasa mempunyai self control yang lebih daripada anak usia remaja. Perilaku yang ditampilkan oleh pecandu gadget, misalnya cenderung merasa ponsel-nya bergetar, merasa jika ada pesan masuk atau pembaharuan. Namun ketika diperiksa gadget-nya tidak ada pesan/pangilan/pengingat apapun. Itulah imajinasi seseorang yang mengalami kecanduan gadget. Salah satu contoh bentuk penggunaan gadget yang tidak dapat dikontrol yang dapat mengakibatkan kecanduan gadget adalah kasus perilaku “gila” anak Bondowoso yang kecanduan gadget parah. Menurut laman Antara, Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur, pihak Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, terdapat dua siswa yang kecanduan gadget dan laptop yang dikategorikan sebagai guncangan jiwa Soebisono, 2018. Kecanduan dua anak ini tergolong parah karena berperilaku mengerikan jika tidak diberi izin memegang atau menggunakan gadgetnya. Bahkan disebutkan salah satunya membentur benturkan kepalanya ke tembok ketika sangat ingin memakai gadget namun tidak diizinkan oleh orangtuanya. Pada kasus dua anak kecanduan gadget di Bondowoso tersebut sempat dilakukan psikotes, hasil psikotes dari salah satu anak tersebut menunjukkan hasil jika anak tersebut mengidetifikasikan dirinya sebagai pembunuh. Sementara orang yang paling dibencinya dalah kedua orangtuanya yang dianggap sebagai penghalang antara dirinya dan gadget. Kecanduan merupakan perilaku ketergantungan terhadap sesuatu hal yang disenangi Cooper, 2000. Seseorang biasanya akan melakukan sesuatu hal disenangi tersebut apabila mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan hal yang disenangi tersebut. Individu dapat dikatakan kecanduan apabila individu melakukan suatu kegiatan secara terus-menerus dan melakukan kegiatan yang sama sebanyak lebih dari lima kali dalam sehari. Kecanduan merupakan perilaku kompulsif Febriandari & Nauli, 2016; Parengkuan, 2017; Putri & Lestari, 2016, adanya ketergantungan serta kurangnya kontrol Adi Prasetyo, AMir, & Psi, 2017; Setiono, Ardianto, & Erandaru, 2018. Perilaku dapat dikatakan sebagai perilaku kecanduan apabila perilaku tersebut tidak dapat dikontrol dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang bersangkutan Kasetyaningsih, 2015; Swastika, 2016. Data yang diperoleh di lapangan setelah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara dengan guru BK yang mengacu pada pedoman wawancara di SMP Negeri 1 Karangrejo adalah sering ada guru mata pelajaran yang melapor pada guru BK bahwa beberapa murid bermain gadget saat pelajaran. Selain itu ada peraturan di sekolah tersebut yang menyatakan bahwa siswa-siswanya dilarang membawa gadget ke sekolah. Tetapi ketika di sekolah tersebut diadakan razia gadget justru banyak siswa yang kedapatan membawa gadget ke sekolah. Dari hasil pengamatan guru BK perilaku bermain gadget secara terus-menerus tersebut juga mempengaruhi hubungan sosial siswa. Siswa lebih cenderung bersifat individualis. Mengobrol hanya dengan teman satu geng-nya saja dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gadget. Data tersebut diperkuat dengan pengambilan data dengan menggunakan angket yang Smartphone Addiction Scale SAS. Alat ukur tersebut diadopsi dari alat ukur smartphone addiction Kwon et al., 2013. Skala smartphone addiction yang digunakan terdiri dari 33 item dengan skala Likert enam poin 1 sangat tidak setuju dan 6 sangat setuju. Hasil analisis dikategorikan menjadi a. Skor ≥ 99 tingkat kecanduan tinggi dan b. Skor 0,05 dan nilai koefisien korelasi sebesar rxy = 0,074. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kebahagiaan dengan intensi bermedia sosial, artinya tinggi dan rendahnya intensi bermedia sosial siswa tidak secara langsung berkorelasi dengan kebahagiaan siswa. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena ada faktor lain yang lebih dapat menjelaskan, seperti faktor kepribadian, lingkungan sosial, maupun kondisi Maguire Alexandra MacdonaldSarah C. KrillCasey T TaftThere is a dearth of empirical literature characterizing the various forms of trauma experienced by men court mandated to intervention for intimate partner violence IPV perpetration. We investigated the potentially traumatic events PTEs experienced by men N = 217 court mandated to enroll in a 41-week group IPV perpetrator program, as well as the relationships between PTEs, posttraumatic stress disorder PTSD symptoms, and IPV. Findings indicated that 94% of participants reported experiencing at least 1 PTE in their lifetime, and participants experienced an average of over 6 out of 14 types of PTEs. A significant association was found between the number of PTEs experienced and frequency of self-reported perpetration of physical and psychological IPV. PTSD symptoms were also related to both forms of IPV perpetration and mediated the relationship between experiencing PTEs and psychological IPV perpetration. Our findings have implications for understanding how trauma and PTSD symptoms may increase risk for IPV and for developing trauma-informed interventions for this population. PsycINFO Database Record c 2015 APA, all rights reserved.Beth S. Gershuny Julian F ThayerRecently, there has been a resurgence of interest in relations among psychological trauma, dissociative phenomena, and various forms of trauma-related distress that has spawned a prolific amount of research. To date, a relatively comprehensive review of this recent research is lacking. Thus, this paper provides such a review to help summarize and synthesize recent findings, illuminate study limitations, and offer suggestions for future research. In general, findings have revealed fairly strong and consistent relations among the constructs of trauma, dissociation, and trauma-related distress posttraumatic stress disorder, borderline personality disorder, bulimia; individuals who have experienced a traumatic event are more likely to dissociate than individuals who have not, and individuals who experience more dissociative phenomena are more likely to also experience higher levels of trauma-related distress. It is theorized here that dissociative phenomena and subsequent trauma-related distress may relate to fears about death and fears about loss or lack of control above and beyond the occurrence of the traumatic event itself. Such fears about death and loss/lack of control may also help differentiate traumatized individuals who psychologically suffer to varying degrees. Possible functions of dissociation in response to trauma and in relation to forms of trauma-related distress are considered and discussed. Daniel S PineJudith A. CohenThe recent wave of terrorism affecting the United States and other countries raises concerns about the welfare of children and adolescents. This review is designed to address such concerns by summarizing data from two scientific areas. First, a series of recent studies examine psychiatric outcomes over time in children exposed to various forms of trauma. This review summarizes data on the various psychiatric consequences of childhood exposure to trauma, with specific emphasis on identifying factors that predict psychiatric outcome. Prior studies suggest that level of exposure, evidence of psychopathology before trauma exposure, and disruption in social support networks consistently emerge as strong predictors of psychopathology following exposure to trauma. Hence, clinicians might monitor children exposed to trauma most closely when they present with these risk factors. Second, a series of randomized controlled trials documents the beneficial effects of cognitive behavioral therapy CBT in children exposed to sexual abuse. When combined with other data from open studies and controlled trials in nontraumatized children, these studies suggest that CBT represents a logical therapeutic option for children developing anxiety symptoms following the recent wave of terrorism. In terms of psychopharmacological treatments, data from randomized controlled trials in traumatized children have not been generated, but recent studies in other groups of children exhibiting symptoms of anxiety or depression suggest the utility of selective serotonin reuptake game addiction in children and teenagers in Taiwan is associated with levels of animosity, social skills, and academic achievement. This study suggests that video game addiction can be statistically predicted on measures of hostility, and a group with high video game addiction has more hostility than others. Both gender and video game addiction are negatively associated with academic achievement. Family function, sensation seeking, gender, and boredom have statistically positive relationships with levels of social skills. Current models of video game addiction do not seem to fit the findings of this Tingkat Kecanduan Gadget Dengan Gangguan Emosi Dan Perilaku Remaja Usia 11-12 TahunA R AsifF A RahmadiAsif, A. R., & Rahmadi, F. A. 2017. Hubungan Tingkat Kecanduan Gadget Dengan Gangguan Emosi Dan Perilaku Remaja Usia 11-12 Tahun. Faculty of Interaksi Sosial pada Era Teknologi Melalui Pendidikan Jasmani & Olahraga. Paper presented at the Seminar Nasional Pendidikan OlahragaA GhunaifiGhunaifi, A. 2017. Merestorasi Interaksi Sosial pada Era Teknologi Melalui Pendidikan Jasmani & Olahraga. Paper presented at the Seminar Nasional Pendidikan Olahraga.
Halhal yang dapat dilakukan dengan menggunakan gadgetialah mendengarkan musik, bermain games, internet, foto-foto, menonton video, dan lain-lain meskipun 3 berapa dalam satu ruang yang tak ada apa dan siapa pun. Maraknya gadget yang digunakan oleh mahasiswa ialah handphone, laptop, dan tablet.
Orang yang kecanduan gadget gawai mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengalami masalah kesehatan akibat terlalu sering menggunakan benda tersebut. Kecanduan gadget bisa meningkatkan risiko terjadinya gangguan emosi, nyeri leher, sulit beraktivitas, kurang tidur, hingga penyakit tertentu. Kecanduan gadget berkaitan erat dengan kecanduan internet. Hal ini karena kebanyakan tontonan, permainan game, atau fitur menarik di gadget yang sering digunakan dapat dengan mudah diakses melalui internet. Menurut para ahli, kecanduan gadget bisa menyebabkan efek euforia yang sama dengan perilaku kecanduan lainnya, seperti berjudi atau melihat tontonan pornografi. Berdasarkan hasil penelitian, kecanduan gadget dapat mengubah zat kimia otak yang pada akhirnya memengaruhi kondisi fisik, psikologis, dan perilaku seseorang. Ciri-Ciri Kecanduan Gadget Seseorang dikatakan sudah kecanduan gadget apabila sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menggunakan gadget, seperti smartphone, tablet, laptop, atau portable gaming device. Istilah untuk kondisi ini adalah nomophobia no mobile phobia, yang berarti ketakutan untuk aktivitas sehari-hari tanpa smartphone maupun gadget dalam bentuk lainnya. Anda dapat mengukur tingkat kecanduan terhadap gadget dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut Apakah Anda sering merasa tidak nyaman jika gadget tidak bersama Anda? Apakah Anda merasa keberatan atau enggan jika tidak memegang gadget, meskipun hanya sebentar? Apakah Anda sering menggunakan gadget di waktu makan? Apakah Anda kerap memeriksa status atau unggahan posting pada gadget di tengah malam? Apakah Anda lebih sering berinteraksi dengan gadget daripada dengan orang lain? Apakah Anda menghabiskan banyak waktu untuk membuat cuitan di Twitter, membalas status-status di Facebook, atau mengirim surel menggunakan gadget sebagai bentuk komunikasi kepada orang lain? Apakah Anda lebih sering bermain gadget, padahal Anda tahu bahwa seharusnya Anda bisa melakukan hal lain yang lebih produktif? Apakah Anda berkencenderungan untuk menggunakan gadget, padahal sedang sibuk denngan tugas sekolah atau pekerjaan kantor? Jika jawabannya lebih banyak “ya”, maka Anda dapat dikatakan mengalami kecanduan gadget. Dampak Kecanduan Gadget Siapa pun yang kecanduan gadget dapat mengalami berbagai efek buruk, tidak peduli usia dan profesinya. Efek buruk ini dapat meliputi efek fisik dan efek psikologis. Berikut ini penjelasannya Efek fisik Ada beberapa dampak negatif pada kesehatan fisik akibat kecanduan gadget, di antaranya 1. Masalah pada mata Karena terlalu lama menatap layar gawai, mata bisa menjadi bermasalah atau mengalami computer vision syndrome. Beberapa masalah pada mata yang berisiko terjadi pada pecandu gadget adalah mata lelah, mata kering, dan penglihatan terganggu. 2. Nyeri di bagian tubuh tertentu Orang yang sudah kecanduan gadget mungkin tidak menyadari bahwa lehernya sering tertekuk dan jari-jari tangannya tidak berhenti mengetik di layar gawainya. Hal ini membuat mereka rentan mengalami sakit leher, nyeri bahu, serta nyeri pada jari-jari dan pergelangan tangan. 3. Infeksi Layar gadget adalah sarangnya jutaan kuman. Bahkan ada riset yang menyatakan bahwa kuman penyebab diare paling banyak ditemukan pada gadget. Hal ini membuat orang yang sering bersentuhan dengan gadget lebih berisiko terkena infeksi. 4. Kurang tidur Pecandu gadget sering kali rela begadang, sehingga kualitas dan waktu tidurnya berkurang. Jika dibiarkan berkepanjangan, hal ini dapat menyebabkan gangguan tidur. Masalah kesehatan ini bisa meningkatkan risiko terjadinya obesitas, diabetes, penyakit jantung, bahkan infertilitas. Karena kurang tidur, pecandu gadget akan sulit berkonsentrasi dan mengalami kelelahan sepanjang hari. Hal ini dapat meningkatkan risiko cedera atau kecelakaan saat bekerja atau menyetir. Efek psikologis Tak hanya dampak secara fisik, kecanduan gadget juga dapat menyebabkan masalah psikologis, seperti Menjadi lebih mudah marah dan panik Stres Sering merasa kesepian karena berjam-jam menghabiskan waktu tanpa bersosialisasi dengan orang lain, bahkan meningkatkan risiko terjadinya depresi dan gangguan kecemasan Sulit fokus atau berkonsentrasi ketika belajar atau bekerja Bermasalah dalam hubungan sosial, baik dengan keluarga, teman, rekan kerja, atau pasangan Tips Bijak dalam Menggunakan Gadget Berikut ini adalah tips yang dapat Anda terapkan agar bisa lebih bijak dalam menggunakan gadget dan terhindar dari risiko kecanduan, di antaranya 1. Hindari penggunaan gadget saat sedang berjalan atau berkendara Jangan menggunakan gadget saat sedang berjalan, apalagi saat mengoperasikan kendaraan bermotor. Hal ini dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tepikan kendaraan dan berhentilah sejenak jika Anda merasa ada notifikasi penting. 2. Atur dan batasi waktu penggunaan gadget Untuk mencegah kecanduan, Anda bisa membatasi penggunaan gadget, misalnya maksimal dua atau tiga jam sehari. Jika pekerjaan mengharuskan Anda untuk menggunakan gadget, maka cobalah cari aktivitas lain yang tidak mengunakan gadget setelah selesai bekerja. 3. Jangan menggunakan gadget saat sedang bersama orang lain Hindari penggunaan gadget ketika sedang bersama orang lain, seperti saat makan bersama atau saat acara keluarga. Utamakan bentuk komunikasi secara langsung agar Anda dan keluarga dapat menikmati kebersamaan dan tetap menjalin kedekatan. 4. Tentukan area bebas gadget Menentukan area bebas gadget bisa mencegah kecanduan. Anda bisa membuat peraturan sendiri, misalnya tidak menggunakan gadget ketika berada di kamar mandi, dapur, atau kamar tidur. Selain itu, Anda juga bisa mengganti waktu penggunaan gadget dengan aktivitas yang lebih sehat, misalnya berolahraga atau membaca buku. Hindari pula bermain gadget ketika akan tidur. Tips-tips di atas juga dapat diterapkan kepada anak-anak dan sebaiknya dampingi anak saat menggunakan HP agar kebiasaan ini tidak mengganggu aktivitas belajar dan prestasi akademiknya. Untuk mengurangi dan menghentikan kecanduan gadget, memang diperlukan kedisiplinan. Namun, hal ini penting untuk menjaga kesehatan dan keselamatan diri Anda serta orang lain. Apabila Anda masih juga sulit terlepas dari ketergantungan pada gadget, terutama jika hal ini sudah menimbulkan kesulitan dalam menjalani aktivitas dan pekerjaan sehari-hari, sebaiknya Anda berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan bantuan.
E0DM.