Makalahtentang gadget. Misalnya penggunaan gadget oleh anak-anak untuk. Makalah tentang kecanduan media sosial Bab 1 Pendahuluan. Academiaedu 4 Contoh Laporan Hasil Wawancara Berbagai Macam Topik Laporan wawancara DOC Contoh Laporan Hasil Wawancara dalam Bentuk Makalah Redi Saputra - Academiaedu Contoh. Gadget adalah sebuah teknologi Kasus anak kecanduan gadget kini sudah semakin parah. Tidak hanya membuat anak tidak bisa lepas dari perangkat elektronik tersebut, namun juga menunjukkan perilaku agresif jika tidak diberikan izin memegang gadget. Baru-baru ini, kasus anak kecanduan gadget yang parah terjadi di Bondowoso, Jawa Timur. Pihak medis di Poli Jiwa RSUD Koesnadi Bondowoso menyatakan bahwa telah merawat dua orang siswa yang kecanduan bermain perangkat elektronik baik ponsel pintar maupun komputer jinjing. Kasus anak kecanduan gadget ini dikatakan parah, karena kedua anak tersebut akan melakukan hal ekstrim bila dilarang menggunakan gadget. dr. Dewi Prisca Sembiring, Seorang spesialis jiwa di RSUD Koesnadi mengatakan, kedua pasien merupakan siswa SMP dan SMA. Salah satu dari mereka membenturkan kepalanya sendiri ke tembok saat ingin bermain gadget namun dilarang oleh orangtuanya. Kasus anak kecanduan gadget yang parah di Bondowoso, menjadi peringatan keras bagi orangtua. Ketika psikotes diberikan pada kedua anak tersebut. Salah satu dari mereka menunjukkan hasil bahwa ia mengidentifikasi diri sebagai seorang pembunuh, dan orang yang paling dibenci adalah orangtuanya karena menjadi penghalang antara dirinya dan gadget yang sangat ia senangi. “Si anak sudah tidak mau pergi sekolah. Awalnya anak sering memakai gadget karena mengerjakan tugas dari sekolah. Hampir semua tugas sekolahnya harus menggunakan laptop, sehingga kemana-mana harus membawa perangkat elektronik,” papar dr. Dewi seperti dikutip dari laman AntaraNews. Penanganan yang dilakukan pihak medis, menunjukkan hasil bahwa kondisi kedua anak tersebut sudah mulai membaik. Dewi meyakini, banyak kasus anak kecanduan gadget seperti yang dialami oleh dua pasiennya itu. Namun luput dari perhatian orangtua, atau orangtua tidak mau konsultasi dengan psikolog karena menganggap kesenangan anak bermain gadget sepanjang waktu bukanlah masalah. “Kasus anak kecanduan gadget ini hendaknya menjadi peringatan bagi semua orangtua. Isilah keinginan anak-anak untuk bermain dan bersenang-senang tanpa menggunakan gadget. Hati anak-anak harusnya diisi oleh kasih sayang orangtuanya, bukan kesenangan semu dari gadget,” tegas Dewi. Artikel terkait Penelitian; Tanda-tanda anak kecanduan gadget yang harus diwaspadai orangtua Anak kecanduan gadget pastinya tidak bisa lepas dari peran orangtua, yang membiarkan anak berlama-lama memegang ponsel pintar atau laptop. Annelia Sari Sani, seorang psikolog anak, memberikan tips mencegah anak kecanduan gadget. 1. Batasi pemakaian gadget maksimal dua jam Anak di atas dua tahun, hanya boleh berada di depan layar komputer, televisi atau ponsel pintar maksimal selama dua jam setiap harinya. Waktu lain harus digunakan untuk bermain di luar rumah, berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak lain agar bisa mengenali emosi. “Anak belajar dari pengalaman, terutama yang bersentuhan langsung dengan dirinya,” kata Annelia, seperti dilansir dari Tempo, “Namun, sebaiknya anak umur dua tahun tidak dikenalkan dulu pada gadget. Biarkan dia bermain bebas tanpa tersentuh teknologi dulu,” papar Annelia. Artikel terkait Penelitian; Ini 10 bahaya gadget bagi anak di bawah usia 12 tahun Anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya jangan dulu dikenalkan pada gadget. 2. Orang tua mengedukasi diri soal gadget Sebelum memberikan gadget ke anak, orangtua harus tahu dulu apa saja aplikasi yang ada di sana. Agar bisa menyaring konten yang sesuai dengan umur anak. Jangan jadi orangtua yang gaptek, dan membiarkan anak terpapar konten negatif karena kita tidak mengerti. 3. Berikan pengawasan Dampingi anak ketika bermain gadget. Anda juga bisa berdiskusi mengenai apa saja yang ia mainkan, dan lakukan dengan gadgetnya. Selain menjalin komunikasi, Anda juga bisa sekaligus mengawasi paparan internet terhadap anak, perilaku anak di dunia maya. Bila sedang mengawasi anak, usahakan jangan sibuk dengan gadget Anda sendiri. 4. Berikan pengajaran soal perilaku di internet Jika Anda melihat konten yang tidak sesuai dengan usia anak, beri dia pengertian bahwa konten tersebut tidak baik untuknya. Begitupun ketika dia melihat informasi yang kurang baik, ajak anak untuk mendiskusikannya. Jangan lupa mengingatkan anak agar tidak mudah memberikan identitas pribadi kepada orang yang tidak dikenal, atau aplikasi yang tidak jelas. Andapun sebagai orangtua, sebaiknya jangan berlebihan memamerkan anak di media sosial. Hal ini demi mencegah kejahatan yang sering mengincar anak di dunia maya. Artikel terkait Waspada! Inilah yang diincar predator seksual dari foto anak yang tersebar di dunia maya Berikan pendampingan dan pengawasan saat anak bermain gadget. 5. Biarkan anak bermain tanpa gadget Dorong anak untuk bermain di dalam maupun di luar rumah tanpa gadget. Tujuannya agar dia memiliki waktu berkualitas yang tidak dihabiskan untuk menatap layar gadget. Selain bermanfaat untuk fisik anak, bermain tanpa gadget juga bisa merangsang tumbuh kembang motoriknya. Simpan gadget Anda saat anak akan bermain agar dia tidak tergoda untuk memegang perangkat elektronik tersebut. 6. Berikan contoh Jangan hanya memberi larangan pada anak untuk tidak menggunakan gadget, sementara orangtua selalu sibuk dengan ponsel pintar. Ini akan memberi contoh yang buruk. Simpan gadget Anda, dan bermainlah bersama anak. Bercengkrama dengan mereka selama beberapa jam. Pekerjaan dan chat dari teman atau bos bisa menunggu. Namun anak Anda tidak akan menjadi anak kecil selamanya. Berikan ia teladan, bahwa ada hal-hal yang lebih penting di dunia ini dibandingkan gadget. Yakni kebersamaan dengan keluarga tercinta. 7. Tetapkan waktu dan tempat bebas gadget di rumah Cara terakhir untuk mencegah anak kecanduan gadget, dengan menetapkan aturan area dan waktu bebas gadget di rumah. Misalnya di meja makan ketika sedang makan bersama. Baik anak-anak maupun orangtua tidak ada yang boleh memegang gadget saat makan. Anda juga harus membiasakan anak untuk tidak membawa perangkat elektronik apapun ke dalam kamar. Selain menghindari kecanduan gadget, juga mendorong anak memiliki waktu tidur yang lebih berkualitas. *** Semoga bermanfaat. Baca juga 6 Tips Mengatasi Kecanduan Gadget Pada Anak Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android. DalamMengurangi Kecanduan Anak Yang Menggunakan Gadget di Smk Negeri 1 Paringin" sempel penelitian ini adalah 10 orang siswa yang merasa kecanduan gadget, baik dirumah maupun di SMK Negeri 1 Paringin. Metode pengumpulan data penelitian menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik
Kecanduan ponsel pintar bukanlah ungkapan hiperbola. Penelitian dari Iowa State University membuktikan, remaja sekarang kerap gelisah ketika jauh dari ponselnya. Gejala ini disebut ''nomophobia''. "Nomophobia adalah kecenderungan generasi modern yang takut ketika tak bisa berkomunikasi dan mengakses informasi dari smartphone,''' kata salah satu anggota tim peneliti Caglar Yildrim. Lebih lanjut, menurut penelitian sebelumnya oleh University of Missouri, remaja yang ''ketergantungan'' ponsel cerdas bisa menderita penyakit psikologi serius. Salah satunya adalah kehilangan kemampuan menguji seberapa kuat ketergantungan seseorang terhadap ponsel cerdasnya, Iowa State University mengedarkan kuesioner ke 301 mahasiswa pengguna iPhone. Ada empat dimensi dasar yang diidentifikasi sebagai gejala kecanduan smartphone, yakni tak mampu berkomunikasi, kehilangan koneksi, tak bisa mengakses informasi dan kehilangan juga bisa menguji kadar ketergantungan kamu. Caranya, jawab 20 poin kuesioner dari Iowa State University di bawah ini, kemudian hitung skor kamu. Tiap pertanyaan memiliki rentang skor 1 sangat tak setuju hingga 7 sangat setuju. Sebelum memberi skor di tiap poinnya, pastikan kamu jujur terhadap diri sendiri. 1. Saya merasa tak nyaman tanpa akses informasi yang konstan dari ponsel. 2. Saya kesal jika tak bisa melihat informasi dari ponsel ketika saya ingin melihatnya. 3. Saya gugup ketika tak bisa mengakses berita dari ponsel.

Adapuncara-cara untuk mengurangi penggunaan gadget adalah sebagai berikut! 1. Hindari menggunakan gadget ketika sedang berkumpul Acara berkumpul biasanya digunakan sebagai ajang untuk berdiskusi dan berbagi satu sama lain sambil melihat emosi yang terpancar dari wajahnya. Hal ini tak bisa kita dapat jika mengobrol melalui chat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya guru dalam mengatasi penyalahgunaan gadget dalam proses belajar mengajar dengan konseling kelompok di kelas XI. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, dengan deskriptif analisis. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI. Alat pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi. Menganalisis peneliti menggunakan dua tahap yaitu pengolahan data dan analisis data, dalam hal menganalisis data peneliti juga menggunakan dua metode yaitu analisis sebelum lapangan dan analisis lapangan dari kedua metode tersebut akan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dilakukan dengan Teknik tersendiri, yakni dengan mengumpulkan peserta didik dengan membentuk lingkaran, lalu kemudian pendamping atau konselor berada ditengah dan memberikan pengarahan tentang bahaya gadget. Faktor-faktor penyebab siswa mengalami kecanduan gadget adalah berasal dari berbagai tempat yang terhubung langsung dengan peserta didik. Hal ini mencakup lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar. Adapun cara mengatasi kecanduan gadget siswa melalui bimbingan kelompok yakni dengan membentuk kelompok kecil didampingi dengan satu orang guru yang bertugas sebagai konselor. Content may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam e-ISSN 2775-2933 Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Yusrizal Amri 1, Abdul Aziz Rusman2 1 Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, Indonesia e-mail yusrizalamri90 abdulazizrusman Submitted 15-01-2023 Revised 20-02-2023 Accepted 05-03-2023 ABSTRACT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya guru dalam mengatasi penyalahgunaan gadget dalam proses belajar mengajar dengan konseling kelompok di kelas XI. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, dengan deskriptif analisis. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI. Alat pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi. Menganalisis peneliti menggunakan dua tahap yaitu pengolahan data dan analisis data, dalam hal menganalisis data peneliti juga menggunakan dua metode yaitu analisis sebelum lapangan dan analisis lapangan dari kedua metode tersebut akan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dilakukan dengan Teknik tersendiri, yakni dengan mengumpulkan peserta didik dengan membentuk lingkaran, lalu kemudian pendamping atau konselor berada ditengah dan memberikan pengarahan tentang bahaya gadget. Faktor-faktor penyebab siswa mengalami kecanduan gadget adalah berasal dari berbagai tempat yang terhubung langsung dengan peserta didik. Hal ini mencakup lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar. Adapun cara mengatasi kecanduan gadget siswa melalui bimbingan kelompok yakni dengan membentuk kelompok kecil didampingi dengan satu orang guru yang bertugas sebagai konselor Keywords Penyalahgunaan, Gadget, Konseling Kelompok Amri, Y. ., & Rusman, A. A. . 2023. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar. Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 41, 132-143 PENDAHULUAN Kemajuan teknologi sekarang ini sangat pesat dan semakin canggih. Banyak teknologi canggih yang telah diciptakan, membuat perubahan berarti dalam kehidupan manusia. Tidak hanya berlaku untuk bidang tertentu semata, melainkan ini juga meliputi beragam bidang dalam kehidupan manusia. Gadget dipandang mampu memberi dampak yang cukup besar pada nilai-nilai pembelajaran. Gadget bukan lagi sesuatu yang asing bagi manusia. Bahkan, banyak manusia yang telah menggunakan mereka dalam kehidupannya. Tidak hanya satu, bahkan memungkinkan orang-orang untuk menggunakan lebih dari satu gadget untuk dirinya sendiri. Penggunaan gadget ini tidak hanya berlaku untuk para pekerja, melainkan pada anak Chusna, 2017. Gadget pada era digital seperti ini merupakan benda yang sudah tidak bisa dipisahkan dari aktifitas sehari-hari. Di era globalisasi ini, pengguna gadget di Indonesia mengalami peningkatan pesat. Bahkan diperkirakan pengguna gadget di Indonesia akan melampaui jumlah penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2020 pengguna gadget di Indonesia mencapai 338,2 juta jiwa Haryanto, 2020, dimana 79,5% diantaranya berasal dari kategori anak-anak Zaini & Soenarto, 2019. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 133 Penggunaan gadget di Indonesia digunakan untuk berbagai macam keperluan, dari mencari informasi, bermain game hingga mencari hiburan. Kenyataannya 160 juta jiwa atau 59% masyarakat Indonesia menggunakan gadget untuk mengakses media sosial seperti WhatsApp, Instagram, TikTok, Facebook, dan sebagainya Haryanto, 2020. Dampak yang ditimbulkan pun berbagai macam, dari positif hingga dampak negatif yang dapat merugikan diri sendiri serta orang lain. Pengawasan penggunaan gadget sangat penting, apalagi kini penggunaan gadget sudah tak dibatasi umur dan waktu. Selain itu, kemudahan mengakses dunia maya melalui gadget memang mempunyai dampak positif, diantaranya dalam pola pikir anak yaitu mampu membantu anak dalam mengatur kecepatan bermainnya, mengolah strategi dalam permainan, dan membantu meningkatkan kemampuan otak kanan anak selama dalam pengawasan yang baik. Akan tetapi dibalik kelebihan tersebut lebih dominan pada dampak negatif yang berpengaruh terhadap perkembangan anak, diantaranya anak mengalami gangguan kesehatan, kecanduan akut maupun terpapar paparan negatif seperti pornografi dan kekerasan Azmiyah & Astutik, 2021; Bakri, Nasucha, & M, 2021; Dilia, Rony, & Trianawati, 2022; Nurulloh, Aprilianto, Sirojuddin, & Maarif, 2020. Salah satu kasus penyalahgunaan gadget di Indonesia yakni kasus dua remaja asal bekasi yang mengalami gangguan jiwa. Remaja berinisial NV 17 dan TY 17 dalam kesehariannya hanya termenung namun bereaksi ketika melihat telepon genggam Makki, 2019. Oleh karena itu, penggunaan gadget oleh anak perlu diawasi agar tidak disalahgunakan fungsinya. Namun nyatanya orangtua belakangan ini beranggapan bahwa gadget mampu menjadi teman bagi anak sehingga peran orangtua sudah tergantikan oleh gadget. Padahal informasi yang diakses melalui gadget dapat pula memuat konten-konten negatif. Oleh karenanya, untuk melindungi masa depan anak diperlukan peran orangtua dalam mengawasi penggunaan gadget oleh anak. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bentuk perlindungan terhadap anak salah satunya yaitu hak untuk memperoleh pengetahuan positif dalam kondisi pesatnya perkembangan bidang teknologi informasi Rudiantara, 2018. Mengingat kesejahteraan anak tidak hanya meliputi aspek sosial dan ekonomi saja, maka implementasi perlindungan anak sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak memiliki lingkup yang luas. Bentuk implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak antara lain perlindungan anak di bidang peradilan, perlindungan anak dari kekerasan, perlindungan anak dari eksploitasi fisik, mental, dan sosial, serta perlindungan dari perlakuan diskriminasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar Roria, 2019. Implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak mutlak harus dilakukan, karena perlindungan anak merupakan manifestasi keadilan dalam masyarakat Anwar & Wijaya, 2020. Beberapa media juga memberitakan bahwa kecanduan Gadget mulai marak dalam anak usia sekolah. Dilansir dari CNN Indonesia Indonesia, 2021 yang menerbitkan berita bertajuk “Survei 19,3 Persen Anak Indonesia Kecanduan Internet”, memberitakan bahwa 19% anak remaja di Indonesia mengalami kecanduan internet. Kemudian, anak usia remaja mengalami peningkatan durasi online dari 7,27 jam menjadi 11,6 jam dalam sehari. Keadaan itu meningkat 59,7%. Melalui sebuah media pemberitan hasil survey katadata Pahlevi, 2022, memberikan data mengenai seberapa banyak anak usia remaja yang menggunakan Gadget. Perhitungan berdasarkan pada usia, penetrasi internet tertinggi berada pada kelompok usia 13 sampai 18 tahun. Hampir seluruhnya 99,16% kelompok usia tersebut terhubung ke internet. Yusrizal Amri1, Abdul Aziz Rusman2 134 Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 Gambar 1. Diagram Penetrasi Internet di Kalangan Remaja Tertinggi di Indonesia Pahlevi, 2022 Hal yang menjadi perhatian adalah bahwa peningkatan penggunaan internet bagi kalangan remaja yang berada pada angka fantastis, membuat kekhawatiran akan di masa mendatang . Berkenaan dengan ini, Pusparisa Pusparisa, 2020 melalui sebuah media survey memperkirakan adanya peningkatan penggunaan smartphone pada tahun 2025 mendatang. Oleh karena itu, persoalan kecanduan Gadget terlebih lagi dikalangan remaja menjadi perhatian penting dalam era digital saat ini. Beberapa penelitian terkait tentang kecanduan Gadget menggambarkan bahwa ini memberi pengaruh yang sangat besar. Hasil penelitian tentang kecanduan Gadget, bahwa upaya yang dilakukan untuk mengatasi kecanduan Gadget siswa yaitu berasal dari kemauan siswa itu sendiri untuk perubahan yang lebih baik dengan dirinya. Disamping itu, juga diperlukan adanya kerjasama antara Guru pelajaran dengan peserta didik Rismaniar, 2018. Hal ini menjadi media yang berperan penting bagi penyampaian informasi kepada peserta didik. Efektifitas penyampaian informasi akan terlihat dari sini. Sedang efektifitas itu sendiri menurut Lubis Lubis, 2023, merupakan prinsip dari media pembelajaran. Selain itu, Teknik Pengkondisian Aversi dapat dilakukan sebaga upaya dalam mengatasi penyalahgunaan gadget dalam proses belajar mengajar di kelas dengan konseling kelompok Aversi & Mahardika, 2014. Upaya yang dilakukan guru Pendidikan Agama Islam dalam mengatasi dampak penggunaan gadget terhadap siswa adalah sebagai motivator dan informator Aviva, Muhammad, & Halili., 2022. Penelitian lain adalah memberi kesimpulan bahwa salah satu penyebab kecanduan gadget adalah penggunaan yang tidak terkontrol. Kontrol diri berkorelasi secara negatif terhadap apa yang dikatakan kecanduan gadget Mumbaasithoh, Ulya, & Rahmat, 2021. Itu artinya, semakin tinggi kontrol diri seorang remaja, maka semakin rendah pula kecenderungan remaja tersebut untuk mengalami kecanduan gadget Lailatilfadla, Akmalia, Hasri, Putri, & Situmorang, 2022. Berdasarkan paparan di atas, artikel ini berusaha menjelaskan terkait upaya yang harus dilakukan guru dalam mengatasi penyalahgunaan gadget dalam proses belajar mengajar siswa. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan sesuai dengan permasalahan yang diajukan yakni jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Untuk itu peneliti mulai mengkaji data dan Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 135 menggambarkan realita yang kongkrit dan kompleks Fatimah, Asy’ari, Sandria, & Nasucha, 2023; Hafid & Barnoto, 2022; Saadah & Asy’ari, 2022. Penelitian kualitatif digunakan karna penelitian ini mengkaji atau mengumpulkan data yang berbentuk kata-kata, gambar, serta pengamatan yang baik bukan angket ataupun angka. Tujuan akhir dari penerapan metode penelitian kualitatif adalah menguraikan atau menjelaskan suatu fenomena secara mendalam dan sistematis yang dilakukan dengan mengumpulkan data dengan mendalam Fai, 2022. Dalam memperoleh data dan informasi, penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data. Sedangkan alat pengumpulan data melalui interview/wawancara, observasi dan dokumentasi serta studi literatur. Kemudian teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini mengacu pada sebuah konsep Milles & Huberman Sugiyono, 2013 yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kemudian peneliti melakukan penyajian data yang telah disusun secara sistematis dengan bentuk teks naratif agar nantinya memberikan kemudahan dalam penarikan kesimpulan yang bersifat sementara sehingga perlu di verifikasi untuk mendapatkan kesimpulan yang objektif. Untuk pengujian keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang masa observasi, triangulasi, dan pengamatan secara seksama, dan mengadakan member and check agar informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud informan Sugiyono, 2012. Temuan data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut bisa jadi berasal dari naskah wawancara, catatan, lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau tempo, dan dokumen resmi penelitian kualitatif dari definisi lainnya dikemukakan bahwa hal itu merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan prilaku individu atau sekelompok orang. Serta memfokuskan pada makna atau arti dari tingkah laku manusia, konteks interaksi sosial, dan hubungan-hubungan antara keadaan dan tingkah laku Salim, 2018. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Layanan Bimbingan Kelompok Layanan bimbingan kelompok dimaksudkan untuk memungkinkan siswa secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari narasumber yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat Prayitno, 2017. Melalui hasil observasi, peneliti menemukan bahwa kegiatan layanan bimbingan kelompok terjadi terlaksana. Kegiatan ini dilakukan beberapa kali dalam satu bulan. Berkenaan dengan itu, peneliti meneruskan pada wawancara dengan Kepala Sekolah, yang menjelaskan bahwa “Benar bahwa Kami melaksanakan bimbingan dengan kelompok untuk siswa-siswa kami. Tetapi itu tidak berlangsung setiap hari. Hanya beberapa hari dalam satu bulan. Meski demikian, secara umum bimbingan dan arahan itu senantiasa kami lakukan. Khususnya untuk bimbingan kelompok semacam konseling, ada waktu-waktu khusus yang kami terapkan.” Hal senada juga diungkapkan oleh Guru yang membidangi bimbingan kelompok. Beliau mengatakan bahwa Yusrizal Amri1, Abdul Aziz Rusman2 136 Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 “Layanan bimbingan kelompok memang ada disini. Tapi kegiatannya tidak dengan sering dilakukan. Maksudnya, tidak sesering mungkin siswa itu dikumpulkan, untuk diberikan berbagai nasihat atau segalanya. Jadwalnya ada, tapi kegiatan ini lebih jarang dilaksanakan.” Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dipahami bahwa kegiatan layanan bimbingan kelompok telah terlaksana. Meski dengan jangka waktu yang tidak sering, keberadaan layanan ini membuka peluang untuk terciptanya lingkungan belajar yang sehat di sekolah. Melalui observasi yang dilakukan, peneliti belum menemukan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan layanan bimbingan kelompok ini. Adapun hasil wawancara dengan Kepala Sekolah, memberikan penjelasan bahwa “Sejauh ini, kegiatan bimbingan kelompok ini justru berjalan dengan baik. Selain menghemat waktu yang lebih efisien, kegiatan ini juga tidak membutuhkan banyak hal seperti sarana yang dalam jumlah besar, ruang yang luas, dan sebagainya. Hasilnya, sejauh ini kami belum menemukan masalah yang berarti dalam melaksanakan kegiatan bimbingan kelompok ini.” Kepala sekolah menerangkan bahwa pelaksanaan kegaitan bimbingan kelompok di sekolah sejauh ini belum ditemukan adanya masalah yang berarti. Pada dasarnya, hal ini dikarenakan pada praktik pelaksanaan yang tidak membutuhkan hal-hal yang lebih besar seperti sarana yang lengkap, ruang yang luas, dan lain sebagainya. Hal senada diungkapkan oleh Guru bimbingan kelompok, yang menerangkan bahwa “Masalah mungkin jarang terjadi. Dalam praktiknya, tidak ada masalah yang sampai menghalangi proses berjalannya kegiatan ini. Hal yang bernilai kecil mungkin ada, seperti siswa yang belum peduli terhadap nasihat atau pesan-pesan yang disampaikan saat kegiatan bimbingan. Tetapi itu tidak sampai menghalangi proses kegiatan bimbingan kelompok ini.” Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapatlah dipahami bahwa kegiatan bimbingan kelompok yang dilaksanakan di sekolah hingga kini belum menemui masalah yang berarti. Hal ini berjalan dengan baik, meski beberapa masalah teknis. Namun masalah itu bukan semata-mata menghalani proses kegiatan bimbingan yang ada. Sebagai upaya mendukung data dalam penelitian ini, peneliti mencoba mencari informasi melalui wawancara dengan informan tambahan dari siswa. Dalam wawancara dengan salah seorang siswa, menjelaskan bahwa “Ada kegiatan semacam pengarahan gitu. Kadang dipakai di waktu luang kami, kadang juga di jam sekolah.” Kegiatan bimbingan kelompok menjadi poin tambah atas keterlaksanaannya. Pasalnya, kegiatan ini dapat menjadi wadah untuk membangun komunikasi yang baik antara guru dan guru atau pihak sekolah. Kepala sekolah dalam wawancara menegaskan bahwa “Bimbingan kelompok yang kami lakukan itu tidak hanya terbatas pada persoalan gadget saja, atau bahaya gadget. Tetapi juga akan membahas hal-hal teknis diluar dari itu seperti siswa yang bermasalah, siswa yang kerap sekali absen di kelas, siswa yang tidak mengerjakan tugas, siswa yang nilainya buruk, dan lain sebagainya.” Wawancara di atas menjelaskan bahwa dalam penerapan bimbingan kelompok di sekolah, tidak hanya semata-mata bercerita tentang persoalan bahaya gadget semata. Melainkan layanan ini, juga akan membahas segala hal yang terkait langsung dengan siswa dan proses Pendidikan yang Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 137 dilaluinya. Oleh karena itu, layanan ini juga dimanfaatkan untuk berbagai persoalan teknis seperti siswa yang kerap sekali bermasalah, siswa yang malas dan sering absen di sekolah, siswa yang nilai belajarnya turun atau lemah, dan hal teknis lainnya. Hal ini juga dibenarkan oleh Guru bimbingan dan konseling, yang dalam wawancara menjelaskan bahwa “Namanya juga bimbingan, tentunya mengacu pada setiap aktivitas siswa itu sendiri. Jadi, memang ini mencakup semua aspek pembelajaran siswa secara pribadi atau mandiri. Termasuk persoalan siswa yang nilainya rendah, siswa yang terlibat perkelahian, siswa yang sering absen di sekolah, atau bahkan juga merangkul siswa yang bermasalah dengan orangtua mereka di rumah. Jadi memang setiap persoalan pada diri siswa itu, menjadi bagian dalam konseling.” Berdasarkan pengamatan dan wawancara di atas, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa kegiatan bimbingan kelompok berjalan dengan baik. Adapun halangan yang terjadi saat pelaksanaan kegiatan, tidak menjadi sesuatu yang menghalangi laju kegiatan bimbingan yang ada. Faktor-Faktor Penyebab Para Siswa Mengalami Kecanduan Gagdet Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, peneliti melihat beberapa peserta didik yang menggunakan Gadget mereka saat pulang sekolah. Beberapa diantaranya juga terlihat menggunakan Gadget saat berada dalam lingkungan sekolah. Berkenaan dengan hal ini, peneliti mencari informasi melalui wawancara dengan kepala sekolah, yang menjelaskan bahwa “Istilah kecanduan memang mengerikan ya. Tapi, kami hingga kini belum melandasi itu sebagai pengamatan yang mendalam terhadap semua siswa kami. Itu karena pada kondisi dilapangan, apa yang terjadi masih dalam kategori normal menurut kami. Dimana, kami belum menemukan sesuatu yang cenderung bermakna candu itu.” Hasil wawancara di atas, menjelaskan bahwa pada praktiknya di sekolah, istilah candu belum menjadi perhatian serius karena kondisi dilapangan masih terkesan normal. Belum mengacu pada apa yang dimaksudkan dengan istilah “candu” itu sendiri. Hal senada juga diungkapkan oleh Guru Bimbingan Konseling, yang menjelaskan melalui wawancara bahwa “Kami belum menemukan siswa kami yang candu dengan gadgetnya. Tapi semua itu kondisional. Maksudnya, penggunaan Gadget mereka dapat dibatasi ketika pembelajaran. Kalau candu itu kan, berarti mereka tidak bisa lepas dari Gadgetnya ya. Kami belum menemukan itu disini.” Guru Bimbingan Konseling menambahkan lebih lanjut dalam wawancaranya. Ia mengungkapkan bahwa “Tapi banyak siswa kami terlihat sekilas mata, mereka langsung menggunakan Gadget mereka saat jam istirahat tiba, atau waktu-waktu bebas di luar kelas. Jadi memang, ini menjadi aktivitas rutin mereka. Kami menganggap bahwa ini semestinya dapat dikurangi, dengan kegiatan yang lebih bersifat pembelajar, seperti membaca buku diperpustakaan, atau hal lainnya.” Wawancara di atas menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu, peserta didik kerap sekali menggunakan Gadget mereka. Sikap seorang pembelajar lebih tercermin dengan aktivitas akademik yang dilakukannya seperti membaca buku di perpustakaan, atau mengasah kemampuan dengan menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Hal itu sudah tergantikan dengan Gadget, dimana peserta didik cenderung lebih akrab dengan Gadget mereka di waktu-waktu luang yang ada Yusrizal Amri1, Abdul Aziz Rusman2 138 Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 seperti jam istirahat, atau jam bebas. Demikian halnya dengan Kepala sekolah, dalam wawancara yang dilakukan, belia menjelaskan bahwa “Sejauh ini, kami menanggap bahwa ada banyak sekali layanan yang tersedia di Gadget mereka itu. Sehingga, itu lebih asik bagi mereka, ketimbang mereka melakukan kegiatan atau aktivitas belajarnya seperti membaca buku misalnya. Jadi, saya kira ini salah satu faktor penyebab sering menggunakan Gadget itu.” Gadget memang belakangan ini menghadirkan teknologi-teknologi pembaharu, dimana itu menghasilkan beragam layanan yang menarik untuk digunakan. Meski demikian, kehadiran teknologi bagi peserta didik dikhawatirkan dapat mengganggu aktivitas belajar mereka, karena peserta didik cenderung lebih senang bersentuhan dengan Gadget mereka dibandingkan dengan melangsungkan akativitas kesiswaannya. Selanjutnya Kepala sekolah menerangkan lebih lanjut dalam wawancara bahwa “Selain terciptanya berbagai layanan di Gadget itu, peran orangtua tentu saja menjadi penting disini. Tentunya harus lebih aktif dalam mengontrol penggunaan Gadget peserta didik. Meski itu bukan perkara yang mudah, tetapi tetap saja orang tua memegang peran dalam keadaan semacam ini. Kontrol orangtua terhadap Gadget peserta didik, Saya kira bagian inti dalam proses penanganan kecanduan Gadget ini. Sebab, orangtua memiliki andil utama dalam penanganan anaknya.” Kepala sekolah menerangkan bahwa kontrol orangtua menjadi lebih penting dan lebih aktif dalam hal ini. Ini merupakan upaya menangani kecanduan Gadget yang ada. Orangtua adalah orang yang berperan penting dalam penggunaan Gadget peserta didik, dan fungsi kontrol semestinya dapat terlaksana, meski itu bukan perkara yang mudah. Sejalan dengan apa yang diungkapkan Kepala Sekolah, Guru Bimbingan Konseling menjelaskan tentang faktor penyebab kecanduan Gadget dalam wawancara. Ia mengungkapkan bahwa “Menurut Saya, ada beberapa faktor yang menjadi penting dalam hal ini. Seperti perkembangan teknologi. Disatu sisi, perkembangan teknologi itu benar-benar berarti. Tapi keberartiannya itu tentu berguna bagi manusia dalam usia yang lebih pantas, paling tidak 18 tahun ke atas. faktor lain, yaitu kontrol orangtua atau perhatian orangtua. Tidak dapat dipungkiri bahwa Gadget memang berguna saat ini. Tapi kontrol orangtua juga semestinya harus ditingkatkan, dalam penggunaan Gadget bagi anak-anaknya.” Hasil wawancara di atas, menjelaskan bahwa ada faktor kecanduan Gadget diantaranya yaitu perkembangan teknologi yang mampu mempengaruhi perilaku manusia, terlebih lagi bagi usia peserta didik. Hal ini semestinya menjadi bagian pengawasan dari orang-orang sekelilingnya, terlebih lagi orangtua. Berkenaan dengan itu, melalui observasi yang dilakukan, peneliti belum menemukan dokumen terkait faktor-faktor yang kecanduan Gadget itu. Hal ini dimaksudkan seperti laporan, hasil analisis, dan hal lainnya yang dilakukan oleh layanan bimbingan kelompok yang ada di sekolah. Cara Mengatasi Kecanduan Gadget Siswa Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Mengenai Kecanduan Gadget Siswa Bimbingan kelompok dianggap sebagai upaya yang dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada para siswa sebagai upaya menghindari kecanduan gadget. Hal ini bertujuan sebagai upaya perwujudan tingkah laku yang lebih baik dalam mendorong perasaan, pikiran, Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 139 persepsi, wawasan, atau hal lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, beliau menjelaskan bahwa “Pada dasarnya, upaya untuk mengatasi kecanduan Gadget siswa itu senantiasa kami lakukan. Tidak hanya pada bidang konselor atau konseling saja, melainkan juga disarankan bagi guru-guru lainnya untuk memperhatikan siswa tentang gadget mereka. Namun, dalam praktik bimbingan kelompok, cara yang kami lakuan adalah membentuk kelompok yang didampingi oleh satu orang pendamping, kemudian menanyakan bahaya tentang penggunaan gadget kepada peserta kelompok, kemudian membuat kesimpulan.” Lebih spesifik, kepala sekolah menambahkan dalam wawancaranya bahwa “Titik fokus dalam kegiatan ini adalah konselornya, dimana semestinya itu memiliki keilmuan tentang konseling itu sendiri. Pada akhirnya, berharap banyak dari mereka tentang solusi yang tepat, tentang program apa yang akan dilaksanakan di sekolah, dalam upaya pencegahan kecanduan gadget ini. Saat ini, kami sedang mengatur jadwal yang tepat untuk program ini, pada tahun ajaran baru mendatang. Agar semua kegiatan benar-benar berjalan dengan baik dan terlebih lagi dapat berkembang dengan membangun kerjasama dari berbagai pihak.” Hal senada diungkapkan oleh Guru bimbingan konseling, dalam wawancara yang dilakukan menjelaskan bahwa “Dalam kegiatan bimbingan, saya melakukannya dengan mengumpulkan siswa. Pertama, saya membentuk kelompok terlebih dahulu. Bisa 6 orang, atau lebih sampai 10 orang. Terlalu banyak juga tidak efektif. Lalu kemudian Saya membentuk lingkaran dan memberikan penjelasan tentang bahaya gadget, atau memberi informasi terbaru kepada mereka tentang kondisi negatif dari penggunaan gadget. Kemudian saya memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, dan berlaku sebaliknya. Di akhir kegiatan bimbingan, saya menjelaskan kesimpulan untuk bimbingan hari itu.” Hasil dari wawancara di atas, memberikan penjelasan bahwa pada umumnya upaya untuk mengatasi kecanduan gadget dilaksanakan oleh setiap guru di sekolah. Hal ini bertujuan untuk memberikan stimulus kepada peserta didik tentang bahaya gadget. Pada langkah yang spesifik, kegiatan bimbingan kelompok dilaksanakan dengan mengumpulkan atau membentuk kelompok yang diikuti dengan satu orang pendamping konselor, kemudian membentuk kelompok tersebut dengan bentuk lingkaran. Kemudian menanyakan kepada peserta kelompok tentang apa saja bahaya dari penggunaan gadget, dan menyimpulkan hasil dari bimbingan kelompok tersebut. Berkenaan dengan cara yang dilakukan untuk kegiatan bimbingan kelompok ini, dapat terlihat dalam gambar ilustrasi berikut Yusrizal Amri1, Abdul Aziz Rusman2 140 Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 Gambar 2. Ilulstrasi pelaksanaan kegiatan bimbingan kelompok Pada penerapannya, praktik bimbingan kelompok dilakukan dengan satu orang pendamping, yang dikelilingi oleh para peserta dengan membentuk lingkaran. Hal ini memberi manfaat baik, karena semua peserta kelompok terfokus pada pendamping atau konselor, yang dalam kegiatan ini memiliki peran penting seperti menjabarkan tentang bahaya gadget, dan hal penting lainnya. PEMBAHASAN Mengacu pada pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, Prayitno mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek yaitu sebagai berikut 1 Tahap pembentukan, 2 Tahap peralihan, 3 Tahap kegiatan, 4 Tahap pengakhiran Prayitno, 1995. Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan studi dokumen yang peneliti lakukan, memberi kesimpulan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan kelompok berjalan dengan baik. Kegiatan ini rutin dilakukan, meski dalam kurun waktu yang tergolong tidak singkat. Kegiatan ini dilaksanakan sebulan sekali, untuk mendukung hal-hal yang bersifat permasalahan pada peserta didik. Salahudin mengungkapkan bahwa Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri karena bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari sistem pendidikan Salahudin, 2010. Candunya seorang remaja dapat terjadi jika lingkungan tidak mendukung dirinya, seperti beban pada tugas sekolah dan dirumah, orang tua yang selalu menuntut, memarahi anak dan tidak memberi perhatian Jarot, 2016. Ada banyak sekali factor penyebab kecanduan gadget, diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Armayati & Jaka, beberapa factor yang dimaksud seperti 1 Faktor internal; 2 Faktor situasional; 3 Faktor social; dan 4 Faktor eksternal Irawan & Armayati, 2013. Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan studi dokumen, dapat disimpulkan bahwa beberapa factor penyebab siswa mengalami kecanduan gadget adalah kecanggihan teknologi itu sendiri tanpa kontrol dari orang dewasa seperti orangtua. Kecanggihan teknologi membuat penggunanya manusia merasa lebih nyaman dengan berbagai interaksi yang hadir di dalam Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 141 gadget itu sendiri. Disamping itu, kecanduan gadget ini juga disebabkan karena kebiasaan dalam mengisi waktu kosong. Para peserta didik/ remaja kerap menggunakan gadget mereka disela-sela waktu kosong. Keadaan diatas termasuk pada sensation seeking behavior. Sensation seeking behavior itu sendiri merupakan salah satu dari faktor kecanduan gadget lainnya seperti kontrol diri dan kesepian. Tiga factor kecanduan gadget ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ambarwaty Ambarwaty, 2018. Kecanduan gadget pada siswa tentu saja menjadi hal yang harus diperhatikan. Hal ini tentunya menjadi hal yang berbahaya, ketika dibiarkan begitu saja. Makarim dalam terbitannya di media Halodoc, mengungkapkan bahwa ada 4 empat cara untuk mengatasi kecanduan gadget, yaitu 1 memperbanyak sosialisasi dengan teman; 2 nonaktifkan gadget sebelum tidur; 3 menghapus aplikasi yang menjadi penyebab candu; dan 4 mengetahui dampak dari Gadget Makarim, 2021. Berdasrakan hasil observasi, wawancara dan dokumentasi, memberi kesimpulan bahwa cara mengatasi kecanduan gadget siswa melalui layanan bimbingan kelompok adalah dengan membentuk kelompok kecil yang terdiri dari satu orang konselor dan 6 orang atau lebih peserta didik. Kemudian membentuk lingkaran yang membuat diantara mereka saling berhadapan satu dengan yang lainnya. Sementara untuk konselor, berada di tengah sebagai pusat perhatian. Dalam aktivitas kegiatan ini, konselor menerima semua respon peserta didik terhadap gadget, sedanga konselur menjelaskan tentang beragam hal penting seperti bahaya gadget, atau hal lainnya yang dianggap penting. Kondisi di atas, memungkinkan setiap peserta didik terhubung dengan peserta didik lainnya. Selain itu, mereka juga terhubung langsung dengan konselor atau guru mereka. Dengan kata lain, komunikasi akan terbangun disini, dan berharap mengurangi rasa kesepian yang merupakan faktor penyebab kecanduan gadget. KESIMPULAN Bimbingan kelompok tentunya menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi peserta didik. Hal ini disebabkan karena dengan bimbingan kelompok, dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dilakukan dengan Teknik tersendiri, yakni dengan mengumpulkan peserta didik dengan membentuk lingkaran, lalu kemudian pendamping atau konselor berada ditengah dan memberikan pengarahan tentang bahaya gadget. Dalam kondisi tertentu, persoalan lain juga menjadi pembahasan disini. Faktor-faktor penyebab siswa mengalami kecanduan gadget adalah berasal dari berbagai tempat yang terhubung langsung dengan peserta didik. Hal ini mencakup lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar. Adapun cara mengatasi kecanduan gadget siswa melalui bimbingan kelompok yakni dengan membentuk kelompok kecil didampingi dengan satu orang guru yang bertugas sebagai konselor. Guru konseling memberikan penjelasan atau materi tentang bahaya gadget. Lalu kemudian peserta didik diberikan kesempatan untuk bertanya atau menanggapi tentang materi yang disajikan. Yusrizal Amri1, Abdul Aziz Rusman2 142 Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 REFERENSI Ambarwaty, U. D. 2018. Pengaruh Kontrol Diri, Kesepian dan Sensation Seeking Terhadap Kecanduan Smartphone Pada Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Anwar, M., & Wijaya, M. 2020. Fungsionalisasi dan implikasi asas kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum Studi putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Undang Jurnal Hukum, 22, 265–292. Aversi, P., & Mahardika, D. 2014. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar Di Kelas X TKI-1 Dengan Konseling Kelompok Dengan Teknik Pengkondisian Aversi Pada Siswa Kelas X TKI -1 SMK NU’ Ma’arif Kudus Tahun Pelajaran 2013/2014. Aviva, L., Muhammad, D. H., & Halili., H. R. 2022. Upaya Guru PAI dalam Mengatasi Dampak Negatif Kecanduan Gadget Terhadap Siswa SMP Islam Hikmatul Hasanah Kecamatan Tegalsiwalan. Jurnal Pendidikan Dan Konseling JPDK, 41, 478–489. Azmiyah, U., & Astutik, A. P. 2021. The Role of The Movement Teacher in Preparing Indonesia’s Excellent Generation. Nazhruna Jurnal Pendidikan Islam, 42, 396–408. Bakri, A. R., Nasucha, J. A., & M, D. B. I. 2021. Pengaruh Bermain Peran Terhadap Interaksi Sosial Anak Usia Dini. Tafkir Interdisciplinary Journal of Islamic Education, 21, 58–79. Chusna, P. 2017. Pengaruh media gadget pada perkembangan karakter anak. Dinamika Penelitian Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan, 172, 315–330. Dilia, D. I., Rony, R., & Trianawati, A. 2022. Pengaruh Ta’zir Terhadap Akhlak Santri Putri Pondok Pesantren. At-Tadzkir Islamic Education Journal, 11, 1–12. Fatimah, F. S., Asy’ari, H., Sandria, A., & Nasucha, J. A. 2023. Learning Fiqh Based on the TAPPS Think Aloud Pair Problem Solving Method in Improving Student Learning Outcomes. At-Tadzkir Islamic Education Journal, 21, 1–15. Hafid, H., & Barnoto, B. 2022. Manajemen Pembelajaran Kelas Digital Berbasis Google Workspace for Education. Kharisma Jurnal Administrasi Dan Manajemen Pendidikan, 11, 48–58. Haryanto, A. 2020. Riset Ada 175,2 juta pengguna internet di Indonesia. Indonesia, T. C. 2021. Survei 19,3 Persen Anak Indonesia Kecanduan Internet Baca artikel CNN Indonesia. Retrieved from CNN Indonesia website Irawan, J., & Armayati, L. 2013. Pengaruh Kegunaan Gadget Terhadap Kemampuan Bersosialisasi Remaja. An-Nafs, 82, 29–38. Jarot, W. 2016. Ayah Ibu Baik Pareting Era Digital. Jakarta Keluarga Bahagia. Lailatilfadla, S., Akmalia, R., Hasri, R. K., Putri, E., & Situmorang, H. S. B. 2022. Pola Manajemen Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Kepribadian Guru. Jurnal Informasi Keagamaan, Manajemen Dan Strategi Jurnal Manajemen Pendidikan Islam IKaMaS, 21, 27–36. Lubis, R. N. 2023. Prinsip Media Pembelajaran. Retrieved 6 January 1 from RNLUB website Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar melalui Konseling Kelompok Munaddhomah Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 4, Issue. 1, 2023, pp. 132-143 143 Makarim, F. R. 2021. 4 Cara Mengatasi Remaja yang Kecanduan Gadget. Retrieved 5 January 1 from Halodoc website Makki, S. 2019. Dua remaja bekasi alami gangguan jiwa akibat kecanduan gim HP. Retrieved from CNN Indonesia website Mumbaasithoh, L., Ulya, F. M., & Rahmat, K. B. 2021. Kontrol Diri dan Kecanduan Gadget pada Siswa Remaja. Jurnal Penelitian Psikologi, 121, 32–42. Nurulloh, A., Aprilianto, A., Sirojuddin, A., & Maarif, M. A. 2020. The Role of the Head of Madrasah’s Policy in Improving Teacher Professionalism. Nidhomul Haq Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 53, 334–346. Pahlevi, R. 2022. Penetrasi Internet di Kalangan Remaja Tertinggi di Indonesia. Retrieved from Databoks website Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan Kelompok, Konseling Kelompok. Jakarta Ghalia Indonesia. Prayitno. 2017. Konseling Profesional Yang Berhasil. Jakarta Rajawali Pers. Pusparisa, Y. 2020. Pengguna Smartphone diperkirakan Mencapai 89% Populasi pada 2025. Retrieved from Databoks website Rismaniar, R. 2018. Aplikasi Layanan Bimbingan Kelompok Dalam Mengatasi Kecanduan Gadget di MAN 3 Medan. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Roria, R. 2019. Implementasi undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak terhadap perlindungan hak-hak anak korban kekerasan seksual studi di unit layanan terpadu perlindungan sosial anak integratif kabupaten Tulungagung. Sakina Journal of Family Studies, 33, 1–9. Rudiantara. 2018. Pemakaian gadget pada anak dikhawatirkan timbulkan dampak negatif terhadap. Retrieved from Majalahict website Saadah, R., & Asy’ari, H. 2022. Manajemen Sekolah Berbasis Pesantren Dalam Membentuk Karakter Peserta Didik. Kharisma Jurnal Administrasi Dan Manajemen Pendidikan, 11, 1–11. Salahudin. 2010. Bimbingan dan Konseling. Bandung Pustaka Setia. Salim, S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Citapustaka Media. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administratif. Bandung Alfabeta. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung Alfabeta. Zaini, M., & Soenarto, S. 2019. Persepsi orangtua terhadap hadirnya era teknologi digital di kalangan anak usia dini. Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 31, 254–264. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this SaadahHasyim Asy'ariThis article aims to find out how to build character in pesantren-based schools through intracurricular, extracurricular, and co-curricular activities. There is a plus value attached to this pesantren-based school because it maintains the distinctive culture of pesantren as an educational institution whose main orientation is to instill religious values as forming the morality of the nation's children. This research is a type of qualitative research using a case study approach that is included in a descriptive research study. The location of this research is Islamic Junior High School Nashihuddin Bandar Lampung. Data were collected through participatory observation, structured interviews, and documentation. The results of this study can be concluded that 1 character building in Islamic Junior High School Nashihuddin Bandar Lampung carried out thorough planning starting with the formulation of the vision, mission, and goals; 2 character building is integrated through intra-curricular, extra-curricular, co-curricular activities, such as flagship programs such as the English Club, Qiro 'Wal Hufadz and the Yellow Book Study; 3 Monitoring and evaluation of character building is carried out through 1 development of agreed character value indicators; 2 compiling assessment instruments; 3 summarize the results of indicator achievements; 4 perform analysis and evaluation; 5 follow Lailatil Fadla Rizki AkmaliaReihan Kamila HasriMedanThis study aims to examine the pattern of principal management in improving the personality competence of teachers in elementary schools. This study uses a qualitative approach. For information on this research data, researchers took several sources of information from the Principal at SD Terpadu Muhammadiyah 36 Medan. The results showed that the principal's management pattern in improving the teacher's personality competence at SD Terpadu Muhammadiyah 36 Medan was by planning a program to increase teacher personality competence, implementing a program to increase teacher personality competence and evaluating the program to increase teacher personality competence at SD Terpadu Muhammadiyah 36 Medan. The increase in teacher personality competence is carried out because the teacher is a role model for his students, therefore the teacher must have a good personality as an educator. In improving the personality competence of teachers at SD Terpadu Muhammadiyah 36 Medan, the principal applies Islamic values sourced from the Qur'an and sunnah. After the implementation of the teacher personality competency improvement program, the principal then conducts an evaluation to review or ascertain whether the teacher's personality competence at SD Terpadu Muhammadiyah 36 Medan has increased or not and provides advice and motivation to AzmiyahAnita Puji AstutikIn preparing the fantabulous next generation is not easy, but it is possible with the right education and the existence of teacher movement Guru Pengerak. Teacher mover will have positive impact in preparing students and the educational institution in the future. The teacher mover in freedom to learn has their duties and functions. The teacher mover must be accustomed to think creatively and innovatively in creating the best ways for students, then learning activities will be fun and creative. The goal in freedom to learn is increasing and improving the education quality in Indonesia through the teacher mover. Considering the teacher mover’s tasks, functions and roles is emphasizing the learning process that focused on students, students are become more innovative, creative and able to develop their potential optimally. This research uses library research. This study describes about the role of teacher mover and the superior generation in the future by defining, analyzing, explaining and understanding the role of teacher mover as an agent who has the positive impact in learning process and creating superior generation in the MumbaasithohFiya Ma'arifa UlyaKukuh Basuki RahmatPenggunaan gadget yang tidak terkontrol pada siswa saat belajar dari rumah dapat menyebabkan kecanduan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dan kecanduan gadget pada siswa remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta yang belajar dari rumah selama pandemi. Subjek penelitian berjumlah 30 siswa remaja. Penelitian kuantitatif korelasional ini menggunakan pearson product moment dalam analisis data. Hasil penelitian menunjukkan kontrol diri berkorelasi secara negatif terhadap kecanduan gadget. Semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki maka semakin rendah kecenderungan remaja untuk mengalami kecanduan gadget. Selain itu data yang didapatkan melalui open ended questions menunjukkan sejumlah strategi yang dilakukan siswa agar memiliki kontrol diri yang tinggi yaitu melakukan manajemen waktu, mengerjakan kegiatan selain menggunakan gadget, dan mendapatkan pengawasan dari orang tua selama belajar dari rumahPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang peran kebijakan kepala madrasah dalam meningkatkan profesionalisme guru di MTs Unggulan Hikmatul Amanah. Metode penelitian yang digunkan adalah deskriptif-kualitatif dengan menggunakan tektik pengumpulan data berupa observasi, dokumentasi dan wawacanra. Subjek penelitian ini yaitu kepala madrasah, waka keguruan dan guru-guru di MTs Unggulan Hikmatul Amanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan kepala madrasah di MTs Unggulan Hikmatul Amanah cukup baik, dalam hal ini peran kebijakan kepala madrasah dalam rangka peningkatan profesionalisme guru sangat dominan. Kepala madrasah meimplementasikan kebijakan dengan cara mengadakan rapat bulanan; memberikan tugas; mengadakan diklat, seminar, workshop; memberikan reward/tunjangan kepada guru yang berprestasi dan sanksian kepada guru yang melanggar kebijakan di madrasah. Profesionalisme guru ditingkatkan dengan baik, terlihat pada kedisiplinan keaktifan dalam pembelajaran; pengembangan keahlian, dan mampu menguasai materi dalam pembelajran. Muhammad ZainiSoenarto SoenartoPengguna aktif smartphone di Indonesia pada tahun 2018 sekitar 177,9 juta jiwa, penyumbang terbesar berasal dari kategori usia anak-anak dan remaja. Harapan para orangtua memperbolehkan anaknya memainkan smartphone untuk keperluan edukasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penggunaan smartphone dan mengetahui penyebab tingginya tingkat penggunaan smartphone pada anak usia TK 4-6 tahun. Metode pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah orangtua yang mempunyai anak usia TK 4-6 tahun di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Teknik pengambilan sampel menggunakan random sampling yaitu sebanyak 45 responden. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2018 di TK Negeri 1 Sleman, TK Negeri Pembina Bantul, dan TK Negeri 3 Yogyakarta. Instrumen penelitian menggunakan angket. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat penggunaan smartphone pada anak usia TK 4-6 tahun yaitu sebesar sembilan puluh empat persen. Penyebab tingginya tingkat penggunaan smartphone pada anak usia TK 4-6 tahun, antara lain 1 smartphone dan tablet sebagai sarana pengenalan teknologi informasi dan komunikasi; 2 smartphone dan tablet sebagai media edukasi untuk menambah wawasan anak; dan 3 smartphone dan tablet sebagai sarana hiburan agar anak tidak cerewet dan rewelPengaruh Kontrol Diri, Kesepian dan Sensation Seeking Terhadap Kecanduan Smartphone Pada RemajaU D AmbarwatyAmbarwaty, U. D. 2018. Pengaruh Kontrol Diri, Kesepian dan Sensation Seeking Terhadap Kecanduan Smartphone Pada Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif AnwarM WijayaAnwar, M., & Wijaya, M. 2020. Fungsionalisasi dan implikasi asas kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum Studi putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Undang Jurnal Hukum, 22, 265-292. Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar Di Kelas X TKI-1 Dengan Konseling Kelompok Dengan Teknik Pengkondisian Aversi Pada Siswa Kelas X TKI -1 SMK NU' Ma'arif Kudus Tahun PelajaranP AversiD MahardikaAversi, P., & Mahardika, D. 2014. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Gadget Dalam Proses Belajar Mengajar Di Kelas X TKI-1 Dengan Konseling Kelompok Dengan Teknik Pengkondisian Aversi Pada Siswa Kelas X TKI -1 SMK NU' Ma'arif Kudus Tahun Pelajaran 2013/ Guru PAI dalam Mengatasi Dampak Negatif Kecanduan Gadget Terhadap Siswa SMP Islam Hikmatul Hasanah Kecamatan TegalsiwalanL AvivaD H MuhammadH R HaliliAviva, L., Muhammad, D. H., & Halili., H. R. 2022. Upaya Guru PAI dalam Mengatasi Dampak Negatif Kecanduan Gadget Terhadap Siswa SMP Islam Hikmatul Hasanah Kecamatan Tegalsiwalan. Jurnal Pendidikan Dan Konseling JPDK, 41, 478-489.

Dalamwawancara khusus sebagai Millennial Mama of The Month edisi Agustus 2020, Fanny membagikan ceritanya tentang hal ini. Ia menyebut bahwa sebenarnya tanpa disadari orangtua, kita sudah mengenalkan anak gadget sejak ia dalam kandungan. Bahkan ketika ia baru lahir pun sebenarnya anak sudah mulai mengenal gadget.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. 15 PERTANYAAN UNTUK MENGUKUR APAKAH ANDA PERLU DI THERAPY KARENA KECANDUAN GADGETKecanduan adalah keterlibatan terus menerus dengan sebuah zat atau aktivitas tertentu, meskipun hal tersebut mengakibatkan konsekuensi negatif. Ketidakmampuan melakukan kontrol diri atas keinginan yang bersifat kompulsif ini dapat mengakibatkan pengaruh buruk terhadap fisik dan psikologi. Salah satu kondisi kecanduan yang seringkali bahkan tidak disadari oleh kita, adalah kecanduan kita terhadap gadget baca smartphone-internet-media sosial.Dr. David Greenfield, dari The Center of Internet and Technology Addiction, West Hartford telah melakukan penelitian mengenai kecanduan terhadap smartphone. Penelitian ini dimulai dengan melakukan survai sederhana melalui 15 pertanyaan sebagai berikut. Anda dapat memanfaatkan survai ini untuk mengukur tingkat kecanduan anda terhadap gadget. Jawablah ke 15 pertanyaan ini dengan jawaban "ya" atau "tidak", mari kita mulaiApakah anda menyadari bahwa waktu anda banyak tersita oleh penggunaan gadget?Apakah anda menyadari bahwa ketika setiap ada waktu luang, otomatis perhatian anda sudah pada gadget?Apakah anda sering mendapati diri anda lupa waktu ketika asyik dengan gadget?Apakah anda menggunakan waktu untuk texting, media sosial dan internet lebih banyak dari waktu anda bertemu dan berbicara dengan orang lain?Apakah waktu yang anda gunakan bersama gadget semakin bertambah banyak ?Apakah anda berharap untuk dapat mengurangi waktu penggunaan gadget anda?Apakah ketika anda tidur, gadget anda berada di bawah bantal atau di sekitar tempat tidur?Apakah setiap jam, anda selalu mengecek dan menjawab gadget, meskipun hal itu menyela apa yang sedang anda kerjakan?Apakah anda menggunakan gadget saat mengemudi atau di saat melakukan pekerjaan yang membutuhkan focus dan konsentrasi penuh?Apakah anda sudah merasa bahwa penggunaan gadget anda telah mengurangi produktifitas anda?Apakah anda merasa ada sesuatu yang kurang ketika tidak bersama gadget anda, meskipun sebentar?Apakah anda segera merasa tidak nyaman ketika gadget anda tertinggal atau tidak dapat sinyal? Apakah gadget anda berada di dekat piring di atas meja ketika anda sedang makan?Apakah ketika gadget anda berbunyi/memberi notifikasi atau bergetar karena ada pesan yang masuk, anda merasakan dorongan sangat kuat untuk segera mengeceknya?Apakah anda selalu mengecek dan melihat berulangkali gadget anda, meskipun tidak ada notifikasi ataupun pesan penting yang anda tunggu? Menurut apabila anda mendapati minimal ada 8 delapan jawaban "ya" pada pertanyaan di atas, maka anda sudah berada pada situasi kecanduan. Bagaimana hasil jawaban anda? Sepertinya anda sudah mulai tersenyum-senyum menyadari. Sayangnya situasi ini tanpa kita sadari perlahan tapi pasti akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik dan psikologi kita, apalagi bila dikaitkan dengan kualitas hubungan kita bersama keluarga, yang seringkali waktu berharga bersama keluarga yang kita korbankan. Dahulu sebelum memahami dan mempraktekkan ilmu NLP Neuro Linguistic Program, saya memiliki 15 lima belas jawaban "ya" pada kasus pertanyaan di atas. Dengan mempraktekkan NLP saya dapat melakukan kontrol diri sepenuhnya atas apa yang akan dan harus dilakukan. Apakah itu NLP dan bagaimana memanfaatkan NLP dalam keseharian kehidupan kita, mari kita pelajari D TujuantoPembelajar NLP Lihat Lyfe Selengkapnya
Pengumpulandata penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan pencatatan. Uji validitas menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data (2020) yang melakukan penelitian mengkaji tentang dampak negatif kecanduan gadget terhadap perilaku anak usia dini dan penanganannya di paud ummul habibah. Penelitian ini
Halodoc, Jakarta – Seiring perkembangan teknologi, gadget saat ini pun sudah berkembang menjadi semakin canggih. Kamu dapat melakukan banyak hal dengan hanya melalui satu alat elektronik yang kecil ini. Karena itu, hampir semua orang, terutama anak milenial selalu membawa gadget dimanapun dan kemana pun mereka pergi. Coba perhatikan, apakah kamu termasuk salah satu anak zaman sekarang yang kecanduan gadget? Hati-hati, ini dampaknya bagi memang menjadi sarana yang sangat membantu dan memudahkan kita untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Banyak hal yang bisa dilakukan melalui gadget, mulai dari membaca buku, menonton film, browsing, melakukan transaksi keuangan, memesan makanan, bermain, dan masih banyak lagi. Karena itu, hampir semua orang tidak bisa menjalani kegiatannya satu haripun tanpa ada gadget di dekatnya. Sindrom kecanduan gadget ini dinamakan nomofobia yang berasal dari istilah “no-mobile-phone-phobia”. Sebenarnya sindrom ini menyerang banyak orang dari berbagai kalangan dan usia. Namun, golongan yang paling banyak terkena sindrom nomofobia ini adalah anak-anak milenial yang sangat suka dan selalu ingin update dengan hal-hal Kecanduan GadgetBanyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terkena sindrom nomofobia alias kecanduan gadget. Tingkat kecanduan orang pun berbeda-beda. Mulai dari kondisi yang ringan, hingga yang cukup parah. Berikut ini beberapa tanda dari kecanduan gadget yang perlu diperhatikanSaat kamu kecanduan gadget, kamu akan langsung mencari gadget saat membuka mata di pagi tidak bisa melewati hari tanpa menggunakan akan merasa cemas yang luar biasa jika baterai smartphone sudah sangat rendah atau bahkan selalu ingin mengecek gadget-mu tiap 5 menit selalu menggenggam gadget-mu ketika melakukan aktivitas apapun, entah itu sedang makan, berjalan, bahkan ke minimal 3 dari 5 poin di atas tepat menggambarkan keadaanmu saat ini, maka kamu sudah terkena sindrom Kecanduan GadgetJangan menyepelekan sindrom kecanduan gadget ini, karena kebiasaan ini bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan1. Gangguan MataMata yang terlalu sering digunakan untuk menatap layar gadget akan menjadi kering dan timbul rasa panas. Jika kecanduan gadget ini dibiarkan terlalu lama, maka mata bisa lelah, terasa tidak nyaman, merah, dan timbul gangguan penglihatan, seperti penglihatan menjadi kabur, minus mata bertambah, dan Mengganggu Pola TidurSalah satu ciri anak yang kecanduan gadget adalah tidak bisa berhenti bermain gadget, bahkan sampai larut malam. Bermain gadget memang bisa menimbulkan ketagihan yang akan membuatmu susah untuk berhenti. Akhirnya jam tidurmu akan terganggu, bahkan jika dibiarkan terlalu lama, kamu bisa mengidap insomnia. Jika waktu tidur yang dibutuhkan tubuh tidak terpenuhi, maka berbagai penyakit dan gangguan kesehatan mudah Postur Tubuh Jadi BungkukAnak yang kecanduan gadget tanpa sadar sering menundukkan leher untuk melihat gadget-nya. Ketika leher condong ke depan dan menunduk saat asyik bermain gadget, beban leher dan tulang belakang jadi bertambah besar karena harus menopang beban kepala, sehingga bisa menyebabkan leher dan punggungmu terasa nyeri. Jika dibiarkan terlalu lama, maka akan berdampak pada postur tubuhmu yang jadi Mengganggu StudiOleh karena tidak bisa berhenti bermain gadget, kegiatan belajar anak yang memiliki sindrom nomofobia ini pun biasanya akan terganggu. Hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain gadget dan ia sulit untuk berkonsentrasi saat belajar di sekolah, sehingga akhirnya prestasi di sekolah pun jadi menurun. sering bermain gadget membuat seseorang kurang melakukan aktivitas fisik. Hal ini sangat terkait dengan kondisi obesitas. 6. Kurang BersosialisasiPernah mendengar ungkapan “gadget mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat”? Nyatanya, kecanduan gadget menyebabkan anak milenial hanya ingin berkomunikasi melalui aplikasi chatting yang ada di gadget saja dan enggan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, hubungan pertemanan bahkan keluarga pun jadi merenggang karena gadget. Jadi, jika kamu mulai merasa kecanduan gadget, cobalah untuk segera mengatasinya dengan belajar memfokuskan diri kepada kegiatan lainnya yang bermanfaat selain bermain gadget, seperti sering-sering mengobrol dengan teman atau keluarga, belajar, dan berolahraga. Kamu juga bisa meminta saran kesehatan kepada dokter melalui aplikasi Halodoc. Di Halodoc, kamu bisa menghubungi dokter melalui Chat dan Voice/Video Call. Kamu juga bisa membeli obat atau vitamin kesehatan di Halodoc. Caranya sangat mudah, tinggal order lewat aplikasi dan pesananmu akan diantarkan dalam waktu satu jam. Yuk, download aplikasi Halodoc sekarang di App Store dan Google Well Family. Diakses pada 2021. The Harmfull Effects of Too Much Screen Time for Kids Kecanduangawai (gadget) telah jadi candu non-narkoba terbesar. Bahkan, ada sebuah penelitian yang menunjukkan hasil scan otak remaja dengan internet addiction disorder (IAD); hasilnya sama dengan otak orang-orang yang kecanduan alkohol, kokain atau ganja. WONOSARI, KH— Smartphone/Tablet, merupakan alat yang muncul di Era Digital. Alat-alat tersebut, kini begitu dekat dengan kehidupan siswa dan anak sejak kecil. Namun, tahukah, aktifitas apa yang siswa/anak lakukan dengan alat-alat tersebut?, Seringkali kita tidak tahu atau tidak mau tahu. Tidak punya waktu dan sibuk, sering jadi alasannya. Game yang tidak baik dan konten Porno seringkali muncul tanpa disadari, di smartphone/ televisi/ tablet milik mereka. Selaku guru/orang tua, mungkin baru sadar, jika siswa/anak sendiri tiba-tiba berubah sikapnya. Menjadi pemurung, senang menyendiri, tidak percaya diri, sering berbohong, dan sederet sikap-sikap kurang baik lainnya, muncul jika siswa/anak sampai pada tahap kecanduan terhadap apa yang ada di smartphone/televisi/tablet mereka. Sebenarnya, Internet dan alat-alat tersebut, dengan pemahaman dan bimbingan yang tepat, bisa digunakan untuk menunjang proses belajar siswa/ anak. Sayangnya, kebijakan melarang smartphopne HP cerdas di lingkungan sekolah, ikut andil membonsai fungsi tersebut. Kemudian, siswa/anak bereksplorasi mandiri, bebas lepas tanpa pemahaman dan bimbingan yang tepat, sampai akhirnya pada tingkat kecanduan. Jika sudah seperti ini, lantas langkah bijak apa yang harus dilakukan, selaku guru atau orang tua, untuk menjaga agar siswa/anak tidak sampai kecanduan. Berkaca dari fenomena di atas, Psikiater dr. Ida Rochmawati, Sp. KJ dalam sebuah Seminar yang diselenggarakan Ikatan Guru Indonesia IGI yang mengulas pengaruh “Gadget dan Internet” beberapa waktu lalu berbagai ilmu, langkah bagaimana menyikapi anak yang kecanduan gadget. Ia mengajak melihat dengan perspektif yang bijak bukan sekedar mencari kesalahan tapi mencari penyebabnya, bukan sekedar “merampas” gadget tapi mencari substitusi dan solusi. Dalam pembahasannya, dr Ida menjabarkan mengenai seluk beluk otak manusia, Otak memiliki semacam narkoba alami yakni neurotransmitter dopamin dan endorphin yang memberikan efek senang. “Pengeluaran neurotransmitter tersebut distimulus bila seseorang melakukan hal yang berpestasi, menantang ataupun menyenangkan seperti menggunakan rokok, zat adiktif dan “bermain” gadget,” kata dia beberapa waktu lalu. Sambung dia, Dengan bermain gadget, neurotransmitter tersebut bisa keluar dengan mudah tanpa harus berprestasi atau melakukan sesuatu yang menantang, akibatnya otak menjadi malas dan produktivitas berkurang. Gadget dan Distress Ia menilai, remaja sekarang banyak mengalami distress akibat stresor psikososial, orang tua dan guru sering melihat distress sebagai kenakalan ketika perilaku anak tidak sesuai dengan harapan dan norma etika pada umumnya. “Mereka merasa tidak mengerti, tidak diterima dan merasa sendirian. Gadget seolah menjadi teman baik yang bisa mengerti dirinya, merasa diterima dan menjadi tempat melarikan diri dari realita yang menyakitkan,” urai dokter RSUD Wonosari dan RS PKU Muhammadiyah ini. Disebutkan cirri-ciri anak atau pelajar yang mengalami kecanduan Gadget, diantaranya; 1. Gelisah bila tidak memegang gadget termasuk ke kamar mandi, tidur dan sebagainya, 2. Dorongan untuk selalu memainkan perangkat gadget, 3. Menjadi lebih mudah marah bila dipisahkan dari gadget, 4. Rela melakukan apa saja demi gadget, 5. Menghabiskan sebagian besar harinya bersama gadget dari pada melakukan aktivitas yang produktif. Bagaimana cara mengatasinya? Berdasar dari tinjauan ilmu psikologi, beberapa hal ini dapat dilakukan untuk mengatasi kecanduan gadget, pertama cari penyebab bukan sekedar menyalahkan, lalu diskusikan jalan keluar bersama keluarga, sekolah, buat kesepakatan bersama, berikan aktivitas pengganti. “Dampingi, libatkan kelompok sebaya dan jika perlu meminta bantuan ahli,” ulasnya. Perlu meminta bantuan ahli, ia merinci apabila kecanduan menyebabkan, gangguan emosional dan ledakan emosi, mengalami gangguan tidur, penurunan prestasi belajar yang nyata, fungsi peran dan social, serta erdampak pada gangguan fisik. Instropeksi bagi semua pihak perlu dilakukan perlunya memperhatikan serius hal-hal berikut agar gadget tidak berpengaruh buruk bagi generasi muda, adanya teladan, kualitas waktu, sistem sosial yang bergeser, dekadensi moral, serta aspek religi tak boleh dikesampingkan. Kandar Komentar Komentar AnneliaSari Sani, seorang psikolog anak, memberikan tips mencegah anak kecanduan gadget. 1. Batasi pemakaian gadget maksimal dua jam Anak di atas dua tahun, hanya boleh berada di depan layar komputer, televisi atau ponsel pintar maksimal selama dua jam setiap harinya. Alat elektronik seperti HP, laptop, atau komputer sudah menjadi bagian dari kehidupan modern terutama bagi anak-anak muda untuk berhubungan dengan dunia article contains content that is no longer sebagian kemudian seperti tidak bisa melepaskan diri dari berbagai gadget tersebut. Sebagian lagi kemudian berusaha memperbaikinya dengan puasa media sosial seperti yang dilakukan beberapa mahasiswa asal Indonesia di sini."Lebih dari 50 persen generasi muda mengecek telepon genggam mereka setiap 30 menit atau kurang. Jadi memang hampir setiap saat main HP," kata Profesor Genevieve Bell, antropolog Australia dalam wawancara dengan ABC."Penggunaan telepon genggam lain tiap generasi dan ini menarik menurut saya. Kalau anak muda akan lebih sering menggunakan, dan biasanya mereka akan pakai untuk media sosial."Pernyataan tersebut berasal dari survei yang dilakukan ABC pada tahun 2017 melibatkan partisipan di tersebut juga mengatakan bahwa semakin muda usia seseorang, semakin sering bagi mereka untuk menggunakan telepon genggam mereka lebih dari tiga jam per hitungan jam, bagi Nehemia Cevin Untu mahasiswa asal Batam yang mengaku pernah kecanduan media sosial, frekuensi pengecekan Instagram adalah sebanyak lima sampai tujuh menit sekali."Apa-apa selalu periksa media sosial. Bahkan setiap lima sampai tujuh menit. Itu kan berbahaya sebenarnya. Dulu ketika kecanduan Instagram bahkan saya selalu menunggu pemberitahuan."Mahasiswa Musik di Planetshakers College, Melbourne ini mengatakan juga sempat kebiasaan melakukan scroll pada halaman media sosial tanpa alasan yang ia merasa beruntung karena mengenal kegiatan "detoks digital" dari lingkaran pertemanannya di kampus."Saya tahu tentang detoks dari teman-teman sekolah. Mereka juga melakukan ini bahkan sampai menamakannya bukan detoks, tapi puasa media sosial."Calvina Amanda Wijaya juga mengetahui tentang detoks digital dari seorang teman yang menurutnya merasa enak dan rileks setelah berhenti menggunakan Instagram."Saya tidak tahu dia awalnya bagaimana. Tapi teman saya bilang setelah detoks dari Instagram jadi lebih enak dan rileks hidupnya. Terus saya jadi mau coba."Ia mengatakan sadar kecanduan media sosial setelah bermimpi tentang akun Instagram teman SMA nya yang terlalu sering ia lihat selama kurang lebih empat bulan."Kalau dulu saya suka nge-stalk satu teman SMA yang kaya dan cantik. Dia kuliah di London dan barang-barangnya semua branded yang di-post di Instagram," kata mahasiswi S2 Akuntansi dan Pemasaran di Melbourne itu."Saya stalk dia terus sampai pernah terbawa mimpi. Dan sejak mimpi itu, saya sadar kalau ada yang salah."Hidup berubah karena detoks digitalDefinisi dari detoks digital menurut Profesor Dr. Daniel Angus dari University of Queensland adalah suatu cara untuk secara sadar mengambil waktu istirahat dari perangkat digital dan mengalami kehidupan sehari-hari sudah merasakan dampak positif dari detoks digital setelah dua minggu tidak memiliki aplikasi Instagram di telepon genggamnya."Sejauh ini oke, sih, soalnya setiap mau melihat Instagram, [saya ingat] kalau sudah uninstall, jadi tidak bisa stalk lagi. Rasanya lebih lega dan bebas menjalani hidup. Tanpa membandingkan dengan yang lain."Cevin yang sudah mempraktekkan detoks digital selama tiga minggu mengatakan dapat menggunakan lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan yang berguna di waktu luang."Saya berhenti main Instagram karena dulu saya lebih sering menggunakan waktu untuk melihat orang di media sosial, menyibukkan hidup mereka dan sebagainya," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia. Sebelum detoks digital, Calvina Amanda Wijaya selalu mengecek Instagram setiap bangun tidur dan melihat profil teman SMA nya hingga terbawa mimpi.Foto supplied"Dan ketika saya lakukan detoks, hidup saya berubah dan dampaknya jauh sekali. Saya jadi produktif karena bisa pakai waktu luang untuk melakukan hal berguna dan tidak membuat stress."Kevin Deon Lonardy, mahasiswa Sekolah Alkitab di Melbourne, awalnya enggan melakukan detoks digital meski sering melihat video tentang topik tersebut di Youtube."Beberapa kali saya lihat video di Youtube soal orang yang detoks media sosial. [Waktu itu] tidak ada kesadaran jadi pengen detoks," kata Kevin yang akhirnya memutuskan untuk berhenti main Instagram selama 10 hari."Sampai saya merasa buang-buang waktunya parah baru saya lakukan detoks."Setelah melakukan detoks digital, Kevin mengatakan tidak sedikit-sedikit membuka Instagram dan punya "rem" ketika sudah terlalu lama menatap media sosial tersebut."Sekarang [main Instagram] sifatnya lebih disengaja, seperti misalnya buka Instagram selama 10-15 menit setelah mengerjakan tugas. Setelah itu sadar sendiri, 'Eh, sudah kelamaan. Harus balik kerja atau melakukan aktivitas produktif.'" kata Kevin bukan akhir segalanyaKetakutan tidak dapat dipungkiri ketika mau memulai kebiasaan baru. Hal ini dialami Kevin saat mau memulai kebiasaan detoks digital."Secara psikologi, [berhenti menggunakan Instagram] memunculkan rasa ketakutan ketinggalan apa yang sedang terjadi di dunia," kata mahasiswa yang menggunakan Instagram untuk belanja sepatu itu."Jadi media sosial seakan-akan jendela dunia, awalnya gatal sekali mau buka, tapi dibuat disiplin dan ditahan-tahan. Setelah empat sampai lima hari sudah tidak jadi masalah tanpa Instagram."Namun, pikiran tersebut tidak benar. Melalui detoks digital, Kevin justru menyadari sisi negatif dari terlalu lama bermain Instagram."Tidak [rugi] sih, malah keuntungannya saya jadi tidak khawatir melihat apa yang terjadi di luar," katanya."Yang saya sadari pada akhirnya, di Instagram kita cuma melihat kehidupan orang lain [dan] kalau kita tidak benar-benar kontrol diri, kita akan membandingkan keadaan kita sekarang dengan mereka yang 'terlihat' bahagia."Menurut pernyataan Dr. Angus, hal yang dirasakan Kevin sifatnya biasa di kalangan remaja yang pada umumnya dikelilingi oleh pengguna media sosial."Sulit memang rasanya untuk menarik diri dari teknologi ini apalagi kalau ada di dalam lingkaran sosial yang aktif menggunakannya sebagai media komunikasi utama."Menurutnya, hal ini disebabkan karena pengguna telepon genggam yang mayoritas adalah remaja sudah ketergantungan dengan perangkat yang mudah dibawa kemana-mana itu. Kevin Deon awalnya merasa takut tertinggal akan informasi terbaru sebelum menjalani detoks digital yang berakhir sukses.Foto suppliedTeknologi, cerita lama diperbaharuiProfesor Genevieve Belle menyadari meningginya angka kecanduan media sosial di kalangan anak muda. Walau demikian, ia mengatakan bahwa prasangka terhadap teknologi selalu ada dari dulu."Penting untuk diingat bahwa pemikiran tentang sehat atau tidaknya berinteraksi dengan teknologi itu bukan pertama kalinya kita alami," katanya."Saya besar di tahun '70 dan '80-an di Australia dan saya ingat percakapan-percakapan di masa itu tentang televisi, apakah harus punya atau tidak, duduknya harus jauh atau dekat, dan sebagainya."Walau adalah 'cerita lama', ia mengatakan bahwa teknologi sekarang menawarkan interaksi langsung yang menarik hati para penggunanya."Menurut saya yang baru dari [teknologi saat] ini adalah kesengajaan dari proses perancangannya dan juga bagaimana teknologi zaman sekarang memberikan arus balik langsung," kata dia."Jadi televisi tidak tahu kalau Anda sedang menontonnya, tapi telepon genggam tahu Anda sedang menggunakannya."Dr. Angus dari University of Queensland mengatakan bahwa generasi muda hari ini tumbuh besar bersama kemudahan yang ditawarkan teknologi hari ini dan sudah terbiasa dengannya."Perangkat-perangkat ini mengikuti mereka kemanapun mereka pergi. Dan di dalamnya, terdapat kemudahan berkomunikasi yang sudah meresap dalam diri," katanya."Hal ini yang membedakan mereka dengan generasi sebelumnya."Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia Posted 30 Oct 2019Wed 30 Oct 2019 at 617am, updated 30 Oct 2019Wed 30 Oct 2019 at 644am 3 Terapi Kognitif. Untuk terapi yang satu ini memang sedikit lebih rumit, pasalnya terapi kognitif biasa digunakan untuk hal yang sifatnya candu. Misal sang anak sangat kecanduan game online, maka dari itu orang tua harus memodifikasi pikiran anak agar mengalihkan kecanduannya ke hal yang lebih bermanfaat. Biasanya, terapi kognitif akan lebih Someone who use gadget in the right way will get benefits. Meanwhile, people who can not control gadget itself will get some negative impact. One of negative impact is people will become addicted in gadget. This research finds the behavior of gadget addicted for students based on respectful framework. This research is qualitative descriptive design. Research instruments are interview, observation, and documentation. The primary informants come from two students of Junior High School 1 Karangrejo who also being the subject of research. Meanwhile, the proponent informant come from parents from two students who are the subject of research and school counselor. It's meant assessment by respectful framework has differences behavior and factors that influence student behaviors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Konselor Volume 7 Number 3 2018 ISSN Print 1412-9760 – Online 2541-5948 DOI Received May 28, 2018; Revised October 13, 2018; Accepted November 30, 2018 116 Student Gadget Addiction Behavior in the Perspective of Respectful Framework Frida Putri Wardhani1 1Univeritas Negeri Surabaya *Corresponding author, e-mail fridaputri95 Abstract Someone who use gadget in the right way will get benefits. Meanwhile, people who can not control gadget itself will get some negative impact. One of negative impact is people will become addicted in gadget. This research finds the behavior of gadget addicted for students based on respectful framework. This research is qualitative descriptive design. Research instruments are interview, observation, and documentation. The primary informants come from two students of SMP Negeri 1 Karangrejo who also being the subject of research. Meanwhile, the proponent informant come from parents from two students who are the subject of research and school counselor from SMP Negeri 1 Karangrejo. It's meant assessment by respectful framework has differences behavior and factors that influence student behaviors. Keyword Gadget addiction, respectful framework, multiculture Perilaku Kecanduan Gadget Siswa dalam Perspektif Kerangka Kerja Respectful Abstrak Seseorang yang menggunakan gadget dengan cara yang benar akan mendapatkan banyak manfaat. Sementara itu, orang yang tidak dapat mengendalikan penggunaan gadget akan mendapatkan beberapa dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah kecanduan gadget. Tujuan penelitian ini adalah menemukan perilaku kecanduan gadget untuk siswa berdasarkan respectful framework. Penelitian ini merupakan desain deskriptif kualitatif. Instrumen penelitian adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan utama berasal dari dua siswa SMP Negeri 1 Karangrejo yang juga menjadi subjek penelitian. Sementara itu, informan pendukung berasal dari orang tua dari dua siswa yang menjadi subjek penelitian dan guru BK dari SMP Negeri 1 Karangrejo. Itu berarti penilaian oleh respectful framework memiliki perbedaan perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa. Kata Kunci Kecanduan gadget, respectful framework, multikultural How to Cite Wardhani, F. P. 2018. Student Gadget Addiction Behavior in the Perspective of Respectful Framework. Konselor, 73, 116-123. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use , distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. ©20 18 by author Pendahuluan Di era globalisasi yang maju ini perkembangan teknologi Megantara & Suryani, 2016 dan informasi sangat pesat Aini, Graha, & Zuliana, 2017; Budiman, 2017; Laurent, 2016. Teknologi merupakan sesuatu hal yang dibutuhkan oleh manusia. Teknologi juga akan sangat membantu setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia Setyowati, Isthika, & Pratiwi, 2016; Sihotang & Siboro, 2016. Salah satu teknologi yang banyak dipakai adalah gadget Fajrin, 2015; Manumpil, Ismanto, & Onibala, 2015. Apabila penggunaan gadget dapat dilakukan dengan bijak, manusia akan mendapatkan banyak manfaat dari penggunaan gadget Kamil, 2017. Tetapi jika penggunaan gadget tidak dapat dikontrol akan menimbulkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang diperoleh yakni ketergantungan atau kecanduan gadget itu sendiri. Gadget dapat dimaknai sebagai suatu alat yang dapat dengan mudah terkoneksi dengan internet. KONSELOR ISSN 1412-9760 117 Kecanduan gadget merupakan aktivitas atau perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan akan menimbulkan dampak negatif jika perilaku tersebut tidak dapat dikontrol Nene & Gupta, 2018. Salah satu hal yang akan sangat berpengaruh jika seseorang sudah ketergantungan menggunakan gadget yakni banyaknya waktu yang tersita untuk bermain gadget. Dalam era globalisasi ini banyak anak-anak usia remaja yang sudah menggunakan gadget, bahkan para remaja ini lebih pintar menggunakan gadget daripada orang dewasa. Pada anak usia remaja, mereka akan cenderung lebih mudah mempelajari sesuatu hal yang berkaitan dengan gadget dibandingkan dnegan orang dewasa. Hal tersebut dikarenakan pada perkembangan anak usia remaja mempunyai rasa ingin tahu yang lebih besar Maimunah & UMM, 2015; Muslihatun & Santi, 2015; Yutifa & Dewi, 2015 dibandingkan dengan orang dewasa. Orang dewasa mempunyai self control yang lebih daripada anak usia remaja. Perilaku yang ditampilkan oleh pecandu gadget, misalnya cenderung merasa ponsel-nya bergetar, merasa jika ada pesan masuk atau pembaharuan. Namun ketika diperiksa gadget-nya tidak ada pesan/pangilan/pengingat apapun. Itulah imajinasi seseorang yang mengalami kecanduan gadget. Salah satu contoh bentuk penggunaan gadget yang tidak dapat dikontrol yang dapat mengakibatkan kecanduan gadget adalah kasus perilaku “gila” anak Bondowoso yang kecanduan gadget parah. Menurut laman Antara, Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur, pihak Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, terdapat dua siswa yang kecanduan gadget dan laptop yang dikategorikan sebagai guncangan jiwa Soebisono, 2018. Kecanduan dua anak ini tergolong parah karena berperilaku mengerikan jika tidak diberi izin memegang atau menggunakan gadgetnya. Bahkan disebutkan salah satunya membentur benturkan kepalanya ke tembok ketika sangat ingin memakai gadget namun tidak diizinkan oleh orangtuanya. Pada kasus dua anak kecanduan gadget di Bondowoso tersebut sempat dilakukan psikotes, hasil psikotes dari salah satu anak tersebut menunjukkan hasil jika anak tersebut mengidetifikasikan dirinya sebagai pembunuh. Sementara orang yang paling dibencinya dalah kedua orangtuanya yang dianggap sebagai penghalang antara dirinya dan gadget. Kecanduan merupakan perilaku ketergantungan terhadap sesuatu hal yang disenangi Cooper, 2000. Seseorang biasanya akan melakukan sesuatu hal disenangi tersebut apabila mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan hal yang disenangi tersebut. Individu dapat dikatakan kecanduan apabila individu melakukan suatu kegiatan secara terus-menerus dan melakukan kegiatan yang sama sebanyak lebih dari lima kali dalam sehari. Kecanduan merupakan perilaku kompulsif Febriandari & Nauli, 2016; Parengkuan, 2017; Putri & Lestari, 2016, adanya ketergantungan serta kurangnya kontrol Adi Prasetyo, AMir, & Psi, 2017; Setiono, Ardianto, & Erandaru, 2018. Perilaku dapat dikatakan sebagai perilaku kecanduan apabila perilaku tersebut tidak dapat dikontrol dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang bersangkutan Kasetyaningsih, 2015; Swastika, 2016. Data yang diperoleh di lapangan setelah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara dengan guru BK yang mengacu pada pedoman wawancara di SMP Negeri 1 Karangrejo adalah sering ada guru mata pelajaran yang melapor pada guru BK bahwa beberapa murid bermain gadget saat pelajaran. Selain itu ada peraturan di sekolah tersebut yang menyatakan bahwa siswa-siswanya dilarang membawa gadget ke sekolah. Tetapi ketika di sekolah tersebut diadakan razia gadget justru banyak siswa yang kedapatan membawa gadget ke sekolah. Dari hasil pengamatan guru BK perilaku bermain gadget secara terus-menerus tersebut juga mempengaruhi hubungan sosial siswa. Siswa lebih cenderung bersifat individualis. Mengobrol hanya dengan teman satu geng-nya saja dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gadget. Data tersebut diperkuat dengan pengambilan data dengan menggunakan angket yang Smartphone Addiction Scale SAS. Alat ukur tersebut diadopsi dari alat ukur smartphone addiction Kwon et al., 2013. Skala smartphone addiction yang digunakan terdiri dari 33 item dengan skala Likert enam poin 1 sangat tidak setuju dan 6 sangat setuju. Hasil analisis dikategorikan menjadi a. Skor ≥ 99 tingkat kecanduan tinggi dan b. Skor 0,05 dan nilai koefisien korelasi sebesar rxy = 0,074. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kebahagiaan dengan intensi bermedia sosial, artinya tinggi dan rendahnya intensi bermedia sosial siswa tidak secara langsung berkorelasi dengan kebahagiaan siswa. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena ada faktor lain yang lebih dapat menjelaskan, seperti faktor kepribadian, lingkungan sosial, maupun kondisi Maguire Alexandra MacdonaldSarah C. KrillCasey T TaftThere is a dearth of empirical literature characterizing the various forms of trauma experienced by men court mandated to intervention for intimate partner violence IPV perpetration. We investigated the potentially traumatic events PTEs experienced by men N = 217 court mandated to enroll in a 41-week group IPV perpetrator program, as well as the relationships between PTEs, posttraumatic stress disorder PTSD symptoms, and IPV. Findings indicated that 94% of participants reported experiencing at least 1 PTE in their lifetime, and participants experienced an average of over 6 out of 14 types of PTEs. A significant association was found between the number of PTEs experienced and frequency of self-reported perpetration of physical and psychological IPV. PTSD symptoms were also related to both forms of IPV perpetration and mediated the relationship between experiencing PTEs and psychological IPV perpetration. Our findings have implications for understanding how trauma and PTSD symptoms may increase risk for IPV and for developing trauma-informed interventions for this population. PsycINFO Database Record c 2015 APA, all rights reserved.Beth S. Gershuny Julian F ThayerRecently, there has been a resurgence of interest in relations among psychological trauma, dissociative phenomena, and various forms of trauma-related distress that has spawned a prolific amount of research. To date, a relatively comprehensive review of this recent research is lacking. Thus, this paper provides such a review to help summarize and synthesize recent findings, illuminate study limitations, and offer suggestions for future research. In general, findings have revealed fairly strong and consistent relations among the constructs of trauma, dissociation, and trauma-related distress posttraumatic stress disorder, borderline personality disorder, bulimia; individuals who have experienced a traumatic event are more likely to dissociate than individuals who have not, and individuals who experience more dissociative phenomena are more likely to also experience higher levels of trauma-related distress. It is theorized here that dissociative phenomena and subsequent trauma-related distress may relate to fears about death and fears about loss or lack of control above and beyond the occurrence of the traumatic event itself. Such fears about death and loss/lack of control may also help differentiate traumatized individuals who psychologically suffer to varying degrees. Possible functions of dissociation in response to trauma and in relation to forms of trauma-related distress are considered and discussed. Daniel S PineJudith A. CohenThe recent wave of terrorism affecting the United States and other countries raises concerns about the welfare of children and adolescents. This review is designed to address such concerns by summarizing data from two scientific areas. First, a series of recent studies examine psychiatric outcomes over time in children exposed to various forms of trauma. This review summarizes data on the various psychiatric consequences of childhood exposure to trauma, with specific emphasis on identifying factors that predict psychiatric outcome. Prior studies suggest that level of exposure, evidence of psychopathology before trauma exposure, and disruption in social support networks consistently emerge as strong predictors of psychopathology following exposure to trauma. Hence, clinicians might monitor children exposed to trauma most closely when they present with these risk factors. Second, a series of randomized controlled trials documents the beneficial effects of cognitive behavioral therapy CBT in children exposed to sexual abuse. When combined with other data from open studies and controlled trials in nontraumatized children, these studies suggest that CBT represents a logical therapeutic option for children developing anxiety symptoms following the recent wave of terrorism. In terms of psychopharmacological treatments, data from randomized controlled trials in traumatized children have not been generated, but recent studies in other groups of children exhibiting symptoms of anxiety or depression suggest the utility of selective serotonin reuptake game addiction in children and teenagers in Taiwan is associated with levels of animosity, social skills, and academic achievement. This study suggests that video game addiction can be statistically predicted on measures of hostility, and a group with high video game addiction has more hostility than others. Both gender and video game addiction are negatively associated with academic achievement. Family function, sensation seeking, gender, and boredom have statistically positive relationships with levels of social skills. Current models of video game addiction do not seem to fit the findings of this Tingkat Kecanduan Gadget Dengan Gangguan Emosi Dan Perilaku Remaja Usia 11-12 TahunA R AsifF A RahmadiAsif, A. R., & Rahmadi, F. A. 2017. Hubungan Tingkat Kecanduan Gadget Dengan Gangguan Emosi Dan Perilaku Remaja Usia 11-12 Tahun. Faculty of Interaksi Sosial pada Era Teknologi Melalui Pendidikan Jasmani & Olahraga. Paper presented at the Seminar Nasional Pendidikan OlahragaA GhunaifiGhunaifi, A. 2017. Merestorasi Interaksi Sosial pada Era Teknologi Melalui Pendidikan Jasmani & Olahraga. Paper presented at the Seminar Nasional Pendidikan Olahraga. Halhal yang dapat dilakukan dengan menggunakan gadgetialah mendengarkan musik, bermain games, internet, foto-foto, menonton video, dan lain-lain meskipun 3 berapa dalam satu ruang yang tak ada apa dan siapa pun. Maraknya gadget yang digunakan oleh mahasiswa ialah handphone, laptop, dan tablet. Orang yang kecanduan gadget gawai mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengalami masalah kesehatan akibat terlalu sering menggunakan benda tersebut. Kecanduan gadget bisa meningkatkan risiko terjadinya gangguan emosi, nyeri leher, sulit beraktivitas, kurang tidur, hingga penyakit tertentu. Kecanduan gadget berkaitan erat dengan kecanduan internet. Hal ini karena kebanyakan tontonan, permainan game, atau fitur menarik di gadget yang sering digunakan dapat dengan mudah diakses melalui internet. Menurut para ahli, kecanduan gadget bisa menyebabkan efek euforia yang sama dengan perilaku kecanduan lainnya, seperti berjudi atau melihat tontonan pornografi. Berdasarkan hasil penelitian, kecanduan gadget dapat mengubah zat kimia otak yang pada akhirnya memengaruhi kondisi fisik, psikologis, dan perilaku seseorang. Ciri-Ciri Kecanduan Gadget Seseorang dikatakan sudah kecanduan gadget apabila sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menggunakan gadget, seperti smartphone, tablet, laptop, atau portable gaming device. Istilah untuk kondisi ini adalah nomophobia no mobile phobia, yang berarti ketakutan untuk aktivitas sehari-hari tanpa smartphone maupun gadget dalam bentuk lainnya. Anda dapat mengukur tingkat kecanduan terhadap gadget dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut Apakah Anda sering merasa tidak nyaman jika gadget tidak bersama Anda? Apakah Anda merasa keberatan atau enggan jika tidak memegang gadget, meskipun hanya sebentar? Apakah Anda sering menggunakan gadget di waktu makan? Apakah Anda kerap memeriksa status atau unggahan posting pada gadget di tengah malam? Apakah Anda lebih sering berinteraksi dengan gadget daripada dengan orang lain? Apakah Anda menghabiskan banyak waktu untuk membuat cuitan di Twitter, membalas status-status di Facebook, atau mengirim surel menggunakan gadget sebagai bentuk komunikasi kepada orang lain? Apakah Anda lebih sering bermain gadget, padahal Anda tahu bahwa seharusnya Anda bisa melakukan hal lain yang lebih produktif? Apakah Anda berkencenderungan untuk menggunakan gadget, padahal sedang sibuk denngan tugas sekolah atau pekerjaan kantor? Jika jawabannya lebih banyak “ya”, maka Anda dapat dikatakan mengalami kecanduan gadget. Dampak Kecanduan Gadget Siapa pun yang kecanduan gadget dapat mengalami berbagai efek buruk, tidak peduli usia dan profesinya. Efek buruk ini dapat meliputi efek fisik dan efek psikologis. Berikut ini penjelasannya Efek fisik Ada beberapa dampak negatif pada kesehatan fisik akibat kecanduan gadget, di antaranya 1. Masalah pada mata Karena terlalu lama menatap layar gawai, mata bisa menjadi bermasalah atau mengalami computer vision syndrome. Beberapa masalah pada mata yang berisiko terjadi pada pecandu gadget adalah mata lelah, mata kering, dan penglihatan terganggu. 2. Nyeri di bagian tubuh tertentu Orang yang sudah kecanduan gadget mungkin tidak menyadari bahwa lehernya sering tertekuk dan jari-jari tangannya tidak berhenti mengetik di layar gawainya. Hal ini membuat mereka rentan mengalami sakit leher, nyeri bahu, serta nyeri pada jari-jari dan pergelangan tangan. 3. Infeksi Layar gadget adalah sarangnya jutaan kuman. Bahkan ada riset yang menyatakan bahwa kuman penyebab diare paling banyak ditemukan pada gadget. Hal ini membuat orang yang sering bersentuhan dengan gadget lebih berisiko terkena infeksi. 4. Kurang tidur Pecandu gadget sering kali rela begadang, sehingga kualitas dan waktu tidurnya berkurang. Jika dibiarkan berkepanjangan, hal ini dapat menyebabkan gangguan tidur. Masalah kesehatan ini bisa meningkatkan risiko terjadinya obesitas, diabetes, penyakit jantung, bahkan infertilitas. Karena kurang tidur, pecandu gadget akan sulit berkonsentrasi dan mengalami kelelahan sepanjang hari. Hal ini dapat meningkatkan risiko cedera atau kecelakaan saat bekerja atau menyetir. Efek psikologis Tak hanya dampak secara fisik, kecanduan gadget juga dapat menyebabkan masalah psikologis, seperti Menjadi lebih mudah marah dan panik Stres Sering merasa kesepian karena berjam-jam menghabiskan waktu tanpa bersosialisasi dengan orang lain, bahkan meningkatkan risiko terjadinya depresi dan gangguan kecemasan Sulit fokus atau berkonsentrasi ketika belajar atau bekerja Bermasalah dalam hubungan sosial, baik dengan keluarga, teman, rekan kerja, atau pasangan Tips Bijak dalam Menggunakan Gadget Berikut ini adalah tips yang dapat Anda terapkan agar bisa lebih bijak dalam menggunakan gadget dan terhindar dari risiko kecanduan, di antaranya 1. Hindari penggunaan gadget saat sedang berjalan atau berkendara Jangan menggunakan gadget saat sedang berjalan, apalagi saat mengoperasikan kendaraan bermotor. Hal ini dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tepikan kendaraan dan berhentilah sejenak jika Anda merasa ada notifikasi penting. 2. Atur dan batasi waktu penggunaan gadget Untuk mencegah kecanduan, Anda bisa membatasi penggunaan gadget, misalnya maksimal dua atau tiga jam sehari. Jika pekerjaan mengharuskan Anda untuk menggunakan gadget, maka cobalah cari aktivitas lain yang tidak mengunakan gadget setelah selesai bekerja. 3. Jangan menggunakan gadget saat sedang bersama orang lain Hindari penggunaan gadget ketika sedang bersama orang lain, seperti saat makan bersama atau saat acara keluarga. Utamakan bentuk komunikasi secara langsung agar Anda dan keluarga dapat menikmati kebersamaan dan tetap menjalin kedekatan. 4. Tentukan area bebas gadget Menentukan area bebas gadget bisa mencegah kecanduan. Anda bisa membuat peraturan sendiri, misalnya tidak menggunakan gadget ketika berada di kamar mandi, dapur, atau kamar tidur. Selain itu, Anda juga bisa mengganti waktu penggunaan gadget dengan aktivitas yang lebih sehat, misalnya berolahraga atau membaca buku. Hindari pula bermain gadget ketika akan tidur. Tips-tips di atas juga dapat diterapkan kepada anak-anak dan sebaiknya dampingi anak saat menggunakan HP agar kebiasaan ini tidak mengganggu aktivitas belajar dan prestasi akademiknya. Untuk mengurangi dan menghentikan kecanduan gadget, memang diperlukan kedisiplinan. Namun, hal ini penting untuk menjaga kesehatan dan keselamatan diri Anda serta orang lain. Apabila Anda masih juga sulit terlepas dari ketergantungan pada gadget, terutama jika hal ini sudah menimbulkan kesulitan dalam menjalani aktivitas dan pekerjaan sehari-hari, sebaiknya Anda berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan bantuan. E0DM.
  • x68w6p2wzo.pages.dev/371
  • x68w6p2wzo.pages.dev/951
  • x68w6p2wzo.pages.dev/22
  • x68w6p2wzo.pages.dev/31
  • x68w6p2wzo.pages.dev/459
  • x68w6p2wzo.pages.dev/736
  • x68w6p2wzo.pages.dev/277
  • x68w6p2wzo.pages.dev/324
  • x68w6p2wzo.pages.dev/408
  • x68w6p2wzo.pages.dev/10
  • x68w6p2wzo.pages.dev/525
  • x68w6p2wzo.pages.dev/180
  • x68w6p2wzo.pages.dev/617
  • x68w6p2wzo.pages.dev/290
  • x68w6p2wzo.pages.dev/730
  • wawancara tentang kecanduan gadget