Untukbisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini: 1. Adil Perawinya harus bersifat adil. Adil di sini artinya bukandalam memutuskan perkara, melainkan orang yang selalu memelihara ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi perbuatan maksiat.
Ilustrasi PARA perawi hadits adalah sahabat, taabi’iin, dan taabi’u al-taabi’iin. Selain dari mereka tidak ada lagi yang dikategorikan sebagai perawi hadits. Rasulullah Saw bersabda Aku mewasiatkan kepada kalian para sahabatku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah itu. Dan setelah itu akan tersebarlah kedustaan. Itulah yang menjadi alasan bahwa perawi hadits adalah para sahabat, taabi’in, dan taabi’u al-taabi’iin. Periwayatan berhenti setelah masa taabi’u al-taabi’iin dengan dilakukannya pembukuan hadits ke dalam bentuk buku. Rasul Saw sendiri menjelaskan bahwa sesudah mereka taabi’u al-taabi’iin akan tersebar kedustaan. Baca juga Begini Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an Syarat-syarat Perawi Hadits Perawi hadits harus memenuhi syarat seperti, baligh al buluugh, Islam, adil, dan dhaabith. Baligh Sebuah riwayat tidak akan diterima dari anak kecil dan juga orang gila. Akan tetapi apabila ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang shabiyyun mumayyizun, kemudian hadits tersebut diriwayatkannya kembali setelah ia baligh, maka riwayat itu dapat diterima. Misalnya, para ahli hadits telah menerima riwayat dari Abdurrahman bin Zubair yang berasal dari Nabi Saw, padahal pada saat wafatnya Rasul usianya tidak lebih dari sepuluh tahun. Adil Keadilan disyaratkan tatkala seorang perawi meriwayatkan hadits kepada orang lain, bukan pada saat ia menerima hadits. Keadilan adalah sifat-sifat yang berkaitan dengan ketakwaan dan muruu’ah menjaga kehormatan seseorang; atau setidaknya adalah meninggalkan dosa-dosa besar, dan tidak membiasakan melakukan dosa-dosa kecil dan menghindarkan diri dari yang dapat mengurangi muruu-ah. Hal-hal yang bisa mengurangi muruu-ah misalnya adalah bersahabat dengan orang yang suka berbuat dosa. Ushul Fiqh, Muhammad Al Khudhariy. Islam Islam tidak disyaratkan bagi seorang perawi tatkala dia mendengarkan sebuah hadits. Sebab, para ulama hadits sepakat untuk menerima hadits dari Jabir bin Math’am, yang menyatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw membaca surat al-Thuur pada saat shalat Maghrib, padahal saat itu ia masih kafir. Dhaabith Seorang perawi harus dhaabith terhadap apa yang diriwayatkannya. Ini berarti bahwa ia harus hafal terhadap apa yang diriwayatkannya, serta sedikit keliru dan lupanya. [SR/Dirasat Fil Fikil Islami]
ShahihLi Dzatihi adalah sebuah hadis yang mencakup semua syarat hadis sahih dan tingkat rawi berada pada tingkatan pertama. Membaca Peringkat Hadis Ma Had Aly Hasyim Asy Ari . 1 Sohari Sahroni Ulumul Hadits Bogor. Syarat Syarat Perawi Hadits Tingkatan 1. Yaitu hadits yang mutawatir dari sisi. Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini.
Jakarta - Dalam syariat Islam, penyembelihan hewan kurban memiliki aturan-aturan tertentu yang wajib dipatuhi. Termasuk waktu penyembelihan hewan kurban. Berikut penjelasan kapan tepatnya batas waktu penyembelihan hewan kurban berdasarkan dari buku Modul Fikih Ibadah susunan Rosidin, waktu penyembelihan kurban yang paling baik adalah hari pertama sesudah sholat Idul Adha hingga matahari terbenam di akhir hari Tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah. Hal ini didasari oleh hadits riwayat al-Barra' ibn 'Azib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda"Sesungguhnya permulaan sesuatu yang kami lakukan pada hari ini Idul Adha adalah sholat kemudian pulang; setelah itu menyembelih kurban. Barangsiapa melakukannya, maka dia telah mendapatkan kesunahan; dan barangsiapa menyembelih kurban sebelum itu, maka sembelihannya itu hanyalah daging yang dihidangkan untuk keluarganya dan sama sekali bukan termasuk binatang kurban." HR Bukhari. Adapun dalam riwayat lainnya Jubair ibn Muth'im RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda "... dalam seluruh hari Tasyriq merupakan waktu diperbolehkan menyembelih hewan kurban" HR Ibnu Hibban.Berdasarkan hadits tersebut, dapat diketahui bahwa menyembelih hewan kurban mendahului waktunya bukan berarti buruk atau terlarang. Namun, perlu dipahami jika daging yang disembelih bukan pada waktu sesuai yang disyariatkan adalah sedekah biasa dan pahala yang didapat adalah pahala bersedekah, bukan pahala karena itu, batas awal penyembelihan hewan kurban adalah pada hari pertama Idul Adha tepatnya setelah melaksanakan sholat Idul Adha. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah sholat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam." HR Bukhari dan Muslim.Adapun bagi yang sudah terlanjur melaksanakan kurban sebelum sholat Id, dikutip dari buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 oleh Ibnu Rusyd, disebutkan dalam salah satu versi riwayat dalam hadits Abu Burdah bin Nayyar, "Sesungguhnya ia pernah menyembelih kurban sebelum sholat Idul Adha, lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengulangi."Ulama-ulama yang menganggap hadits tersebut sebagai ketentuan, termasuk Imam Muslim, mengatakan bahwa tidak boleh menyembelih kurban mendahului sang imam. Oleh karena itu, umat muslim perlu hati-hati sebelum benar-benar melaksanakan penyembelihan yang perlu diketahui adalah makruh hukumnya menyembelih hewan kurban pada malam hari. Meskipun tetap sah, dikhawatirkan akan membahayakan jika melakukan kesalahan dalam penyembelihan. Dikhawatirkan juga jumlah orang-orang fakir yang datang ke tempat penyembelihan lebih sedikit jika dibandingkan penyembelihan dilakukan pada waktu siang apabila masih dilakukan dalam rentang waktu 11-13 Dzulhijjah, penyembelihan kurban tersebut akan terhitung sah dengan pahala kurban. Namun, apabila penyembelihannya setelah matahari terbenam pada tanggal 13 Dzulhijjah, hukumnya tidak sah sebagai kurban. Jadi, batas akhir penyembelihan hewan kurban adalah hari terakhir pada hari dalam buku Cara Berkurban karya Abdul Muta"al Al-Jabry, Ali RA, Imam Syafi'i, Atha', dan Al Hasan berdasarkan hadits Jubair bin Muth'im mengatakan bahwa Rasulullah bersabda "Semua hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan kurban," dan dalam hadits lainnya disebutkan, "Seluruh hari Mina adalah waktu penyembelihan." HR Ahmad dan Daruquthni, juga Ibnu Hibban dan Baihaqi.Sebagaimana dengan hari raya lainnya yakni Idul Fitri, penyembelihan kurban yang termasuk ke dalam satu rangkaian ibadah juga tidak dapat dilaksanakan kecuali pada hari atau waktu yang telah ditentukan. Sebab, kurban adalah esensi utama dari hari raya Idul Adha. Pendapat ini disepakati oleh Sa'id bin Jubair dari Jabir bin penjelasan lengkap terkait kapan tepatnya batas awal dan akhir dari waktu penyembelihan hewan kurban sesuai dengan syariat Islam dan bersumber dari hadits nabi. Jangan sampai lupa, ya! Simak Video "Jelang Idul Adha, Penjualan Hewan Kurban di Bandung Meningkat" [GambasVideo 20detik] dvs/dvs
Seorangperawi pun harus memiliki kecerdasan yang tinggi serta kejujuran, karena akan mempengaruhi hadits yang disampaikan. Baca Juga : Mengenal Ta Marbutah dalam Bahasa Arab dan Al Qur'an. Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadits, tentunya ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits.
Pendahuluan Karena hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula, para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki. Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini. Syarat-Syarat Diterimanya Rawi Jumhur dari imam hadits maupun fiqh sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok perawi hadits Pertama, keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah sopan santun. Kedua, dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya. Dengan Apa Keadilan Dipastikan? Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya. Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i. Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas dijumpai adanya jarh cacat. Beliau beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” HR. Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya. Bagaimana mengetahui rawi yang dlabith? Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah. Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa Penjelasan? Pertama, mengenai ta’dil, dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut pendapat yang shahih dan popular. Karena penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya. Jika itu diperlukan, maka seorang mu’adil yang menetapkan keadilan seseorang akan mengatakan, “lam yaf al kadza dia tidak melakukan hal itu, lam yartakibu kadza dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu. Atau mengatakan, huwa yaf’alu kadza dia melakukan hal itu, wa yaf’alu kadza wa kadza dia melakukan hal itu dan hal itu.” Kedua, mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya karena tidak sulit untuk dijelaskan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang men-jarh dengan sesuatu yang tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata, “Hal ini sudah jelas menjadi keputusan dalam ilmu fiqh dan ushul. Imam Al-Hafidz Al-Khatib menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat para imam huffadz hadits. Tetapi, Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh karena itu, Bukhari tetap beargumen dengan sekelompok orang generasi terdahulu yang terkena jarh─tetapi bukan ditetapkan oleh dirinya, seperti Ikrimah dan Amru bin Marzuq. Begitu pula yang dilakukan Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok orang yang dikenal cacat. Hal yang sama dilakukan oleh Abu Daud. Ini menunjukkan bahwa jarh tidak bisa ditetapkan kecuali jika disertai penjelasan mengenai penyebab jarh-nya.” Apakah Jarh dan Ta’dil Bisa Dengan Ketetapan Seorang Saja? Pendapatnyang benar adalah bahwa jarh dan ta’dil bisa diterapkan oleh satu orang. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu harus dua orang. Terhimpunnya Jarh dan Ta’dil Pada Seorang Rawi Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil, maka Pertama, yang dijadikan sandaran adalah jarh-nya, jika jarh-nya disebutkan. Kedua, ada juga yang berpendapat jika lebih banyak jumlah orang yang men-ta’dil-nya dibandingkan dengan yang men-jarh-nya, maka didahulukan ta’dil-nya. Ini pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Hukum Riwayat Orang yang Adil Dari Seseorang Riwayat orang rawi yang adil dari seseorang, tidak dianggap sebagai pen-ta’dil-annya terhadap orang itu. Ini pendapat mayoritas, dan ini pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang itu di-ta’dil-kan. Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya yang sesuai dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai shahih. Dan pertentangannya tidak bisa dijadikan sebagai cela atas ke-shahih-annya maupun riwayatnya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hal itu justru menunjukkan ke-shahih-annya. Ini merupakan pendapat Al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan ahli ushul. Hukum Riwayat Orang yang Telah Bertaubat dari Sifat-Sifat Fasik Riwayat dari orang fasik yang sudah bertaubat dapat diterima. Riwayat orang yang bertaubat dari perbuatan dusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak dapat diterima. Hukum Riwayat Orang yang Mengambil Upah Sebagian berpendapat tidak bisa diterima. Ini pendapat Ahmad, Ishak, dan Abi Hatim. Sebagian lain berpendapat bisa diterima. Ini pendapat Abu Nu’aim Al-Fadl bin Dzukain. Abu Ishak as-Syaizari berpendapat, bagi orang yang kesulitan memperoleh penghidupan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena kesibukannya dalam mencari hadits, dibolehkan mengambil upah. Hukum Riwayat Orang yang Dikenal Menggampangkan atau Menerima Talqin, atau Banyak Lupa Pertama, riwayat orang yang menggampangkan dalam mendengar maupun mendengarkan tidak bisa diterima seperti tidak memperhatikan tatkala mendengar hadits karena tertidur, atau menceritakan hadits dari sumbernya tanpa melakukan pengecekan. Kedua, riwayat orang yang dikenal menerima talqin dalam hadits tidak bisa diterima, yaitu orang yang mengajarkan hadits dari orang yang tidak tahu bahwa itu merupakan haditsnya. Ketiga, tidak menerima riwayat dari orang yang dikenal banyak lupa dalam periwayatan. Hukum Riwayat Orang yang Menyampaikan Hadits lalu Lupa Definisi orang yang menyampaikan hadits lalu lupa, yaitu jika seseorang syaikh tidak ingat terhadap riwayat yang diceritakan muridnya, dan riwayat itu ternyata darinya. Hukum riwayatnya Ditolak, jika peniadaannya bersifat pasti, karena adanya perkataannya, “ma rawituhu aku tidak meriwayatkannya,” atau “huwa yakdzibu alayya dia berdusta terhadapku,” dan sejenisnya. Diterima, jika peniadaannya bersifat tidak pasti, seperti perkataan, “la a’rifu aku tidak tahu,” atau “la adzkuruhu aku tidak ingat,” dan sejenisnya. Apakah penolakan suatu hadits dapat dianggap cacat terhadap salah satu dari keduanya? Penolakan dari suatu hadits tidak dianggap sebagai cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab salah satu dari keduanya lebih parah cacatnya dibandingkan yang lainnya. Contoh Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang merupakan riwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memutuskan dengan hanya berlandaskan pada sumpah dan seorang saksi. Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi berkata, “Telah bercerita kepadu Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya kepadanya mengenai rantai hadits tersebut yang berasal darinya, namun dia tidak mengetahuinya. Maka aku berkata, “Telah bercerita kepadaku dari Rabi’ah, dari engkau, begini….dan begini….” Setelah itu, Suhail berkata, “Telah bercerita kepadaku Abdul Aziz dari Rabi’ah dari aku bahwasanya aku menceritakan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara marfu’ begini….begini…” Kitab popular yaitu Akhbar man Haddatsa wa Nasiya, karya Al-Khathib. Daftar Pustaka Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah Abu Fuad. Bogor Pustaka Tariqul Izzah
Untukmengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar periwayatan yang tsiqah. 4. Perawinya 'adil. Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang 'adil adalah orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut 'adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan orang yang teledor; (4) mukallaf (balig
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul kepada umat Nabi Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak. At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan hadits di dunia ini oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau lebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui at tahammul wal al adaa . 2. Rumusan Masalah Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits? Apa yang dimaksud dengan at tahammul? Apa yang dimaksud dengan al adaa? 3. Tujan Penulisan Mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi hadits? Mengetahui apa yang dimaksud dengan at tahammul Mengetahui apa yang dimaksud dengan al adaa BAB II PEMBAHASAN 1. Rawi Hadits Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[1]. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Syarat-Syarat Rawi Berakal, cakap/cermat , adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima . apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin al~Hajjaj160 H pernah ditanya “ Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah menjawab “ Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadist. Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan. Atau meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai. Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”[2] Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat. Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan pemahaman hadist berarti tidak adil. Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak , sehingga Syu’bah tidak perlu menyebutkanya lagi . sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal. a. Berakal Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[3]. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.[4] b. Cermat Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.[5] Syu’bah al-Hajjaj berkata “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh pula”.[6] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja . hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[7] c. Adil Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.”[8] Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.[9] Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi d. Muslim Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.[10] 2. Penerimaan Hadits Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al aada. [11] Syarat menerima riwayat hadits Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun setidak-tidaknya harus sudah tamyiz. Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh.[12] Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam melaksanakan kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah baligh. Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin sekiranya yang bersangkutan sudah mampu mendengarnya, karena semua hadits sudah tercatat dalam kitab-kitab hadits. Tata cara Penerimaan Riwayat Hadits Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits menjadi delapan macam[13] yaitu Al-sima’ Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didiktekan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya, sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang dismpaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli hadits, ini yang paling tinggi tingkatannya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang dibarengi al kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat, karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara lainnya. Termasuk dalam kategori sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadits dari Syeikh dari balik sattarsemacam kain pembatas/penghalang. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah melalui ummahat al-mu’minin para istri Nabi. Kata yang dipakai adalah سمعت او حد ثني او أخبر ني او أنبأ ني او قال لي او ذ كر لي Al Qira’ah ala al Syaikh atau Aradh al Qira’ah Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits dihadapan gurunya , baik dibaca sendiri atau dibaca orang lain dan dia mendengarkanya, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik seorang guru hafal maupun tidak, tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah. Kata yang dipakai untuk cara ini 1 Yang paling hati-hati قر أت علي فلا ن او قر ئ عليه و انا أسمع فأقر أ به 2 Menggunakan ibarat al sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah حد ثنا قر اءة عليه 3 Yang sering dipakai oleh sebagian besar ulama’ hadits hanya kata أخبر نا Al-Ijazah Yaitu, seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan yang ada padanya. Pemberian izin ini dinyatakan secara lisan atau tulisan. Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya أجرت لك ان تروي عني صحيح البخاري “ saya beri izin untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ada pada kitab shahih al_bukhari.” Al-Munawalah Al munawalah terbagi menjadi 2 macam yaitu Al munawalah al maqrunah bi al-ijazah yaitu al munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya, seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya, kemudian guru tadi berkata ” anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”, atau seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkan, maka dia berkata “hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah yang lain. Al munawalah mujarradah an al ijazh yaitu al munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Praktejnya seoran gguru menyodorkan kitab hadits kepada muridnya sambil berkata “ini hadits yang pernah saya dengar” atau “ini hadits yang telah saya riwayatkan”. Kalimat periwayatan yang dipakai dengan cara al-munawalah Untuk al-munawalah al maqrunah bi al-ijazah yang terbaik dengan kata ناولني أو ناولني وأجا زلي Boleh juga memakai ibarat al-sama’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah seperti حدثنا منا ولة أ و أخبرنا منا ولة واجازة Al-Kitabah Artinya seorang guru hadits menulis hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik ditulis sendiri maupun orang lain atas permintaannya, baik yang diberi itu berada dihadapan guru atau tidak. Al kitabah dibagi menjadi 2 macam yaitu Al kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan أجزتك ما كتبت لك أو اليك Al kitabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, artinya seorang guru menulis sebagian hadits untuk diberikan kepada seorang tanpa memberi izin meriwayatkannya. Kalimat periwayatan yang digunakan untuk cara al-kitabah Dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan كتب الي فلان Atau memakai lafal al-sama’ atau al qira’ah yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah seperti perkataan حد ثني فلا ن أو أخبر ني كتا به Al-I’lam Artinya seorang guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits atau kitab hadits yang telah didengarnya atau diterimanya dari perawinya. Kalimat yang sering dipakai untuk cara al-I’lam antara lain علمني شيخي بكذا Al-Washiyah Artinya, seorang guru menjelang wafatnya atau sebelum bepergian, ia memberikan wasiat kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah diriwayatkan. Kalimat yang dipakai untuk cara al-washiyah yaitu أو صي الي فلان بكذ أو حد ثني فلان وصية Al-Wijadah Artinya, seorang murid menemukan beberapa hadits catatan seorang guru hadits yang dikenalnya dan tidak diperoleh dengan cara mendengar atau ijazah. Kata-kata yang dipakai untuk cara al-wijadah antara lain وجد ت بخط فلان أو قرأت بخط فلان كذ ا 3. Periwayatan hadits Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana berikut ini[14] Islam Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat Al-hujuraat ayat 6 sebagai berikut 6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Baligh Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits rasul رفع القلم عن ثلا ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يحتلم Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi HR. Abu Daud dan Nasa’iI Adalah Yang dimaksud dengan adil adalah adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian. Dhabit Dhabit ialah تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء “Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan” Jalannya mengetahui kedhabitan perawi dengan cara I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat al qur’an. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada’ di atas dapat kami ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu berakal, cakap/cermat , adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan di pakai. Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari deorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al ada’. At tahammul menerima periwayatan hadits sendiri mempunyai 8 cara yaitu al sima’, al qiro’ah, al ijazah, al munawalah ,al kitabah, al i’lam, al washiyah, dan al wijadah. Sedangkan al ada’ menyampaikan hadits memiliki 4 syarat yang harus dipenuhi semua, karena ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Adapun 4 syarat tersebut yaitu islam, baligh, adalah adil, dan dhabit DAFTAR PUSTAKA Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung Nuansa Cendekia. Al Shan’ani, Muhammad,. 1998. Taudlih al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vol 1, Beirut Dar Ihyaul Turats al Arabi, Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang UIN-Malang Press Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut Dar al-Kutub al-Imliyyah [1] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia. hal 120 [2]Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung Nuansa Cendekia. hal 62 [3] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah. hal 54 [5]Salah Muhammad Muhammad Uwayd. Taqrib Al-tadrib . Beirut Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989 hal 110 [6] Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141 [7] Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59 [8]Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80 [9] Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121. [10] Al-Khatib Al-Baghdadi . Al-Kifayah hal 76 [11] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits.Bogor Penerbit Ghalia Indonesia, 2010 hal 176 [12] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadits. Malang UIN-Malang Press,2007 hal 174 [13] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia hal. 177 [14] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor Ghalia Indonesia hal 182
Pengertian hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam memiliki kitab suci AlQuran sebagai petunjuk hidup. Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah AlQuran.. Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama.
Was this document helpful?Leave a comment or say thanksCourse agama183 DocumentsStudents shared 183 documents in this courseMAKALAHSYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSPORMASI PERIWAYATANHADISDibuat untuk memenuhi tugas dalam Perkuliahan Ulumul HaditsDosen Pengampu Ratika Rovianti, oleh1. Wiwin Suharni2. Jamilatul Khasanah3. Is Dwi Siti Nurjanah4. Sarifatul Mahmuda5. Siti Latifatussa’adah6. Nuraina7. Neni Juwita8. ToyibFAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUANPRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMINSTITUT AGAMA ISLAMANNUR LAMPUNG2021
Berikutini, akan kami kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah al-'Ain bi Fatawi Isma'il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis 1 Penerima harus dlabit memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid. 2 Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. 3 Tamyiz Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. 2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah 1 Islam Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam. 2 Baligh Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih. 3 Adalah adil Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri muru’ah sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat adalahnya seorang rawi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal 4 Dlabit Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu a Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki. b Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu semoga bermanfaat. Aamiin.
SintiaParamita, Pembagian Hadis PEMBAGIAN HADIS BERDASARKAN KUALITAS DAN KUANTITAS SANAD Sintia Paramita 0305192045 Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate 20371 Pendahuluan Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur'an. Sebelum menerapkan sesuatau yang baru dalam hidup ada kalanya kita harus
loading...Para ulama ahli hadis membagi Hadis berdasarkan beberapa klasifikasi. Foto ilustrasi/dok pecihitam Umat Islam pasti tak lepas dari yang namanya Hadis الحديث atau Al-Hadits. Sebagaimana diketahui, sumber hukum Islam ada 4 yaitu Al-Qur'an, Hadis sunnah Nabi, Ijma kesepakatan ulama, dan Qiyas. Hadis secara harfiah berarti berbicara, perkataan atau percakapan. Istilah hadis berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sebagai manusia yang diutus untuk diikuti dan diteladani seluruh istilah ulama ahli hadis, Hadis adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang sebelumnya. Sehingga arti hadis di sini semakna dengan ulama Ahli Hadis membagi hadis berdasarkan beberapa klasifikasi. Berikut penjelasan lengkapnyaBerdasarkan Tingkat Kualitas Keaslian HadisTingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni Shahih, Hasan, Dha'if dan Maudlu'.1. Hadis SahihYaitu tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadis. Hadis shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut- Sanadnya bersambung- Diriwayatkan oleh para penutur/perawi yang adil- Memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruahkehormatan-nya, dan kuat ingatannya. - Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan syadz serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis ’illat.Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits shahih adalahما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علة"Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya Syadz dan 'illah."2. Hadis HasanHadis Hasan dan Sahih hampir sama. Namun, perbedaannya ada sedikit kelemahan pada perawinya misalnya diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat. Perbedaan dari kedua jenis hadis ini adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan tidak sekuat hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam mendefenisikan hadits hasan. Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits Hasan ialahهو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علة"Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan illah."3. Hadis Dhaif lemahHadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu hadis yang sanadnya tidak bersambung dapat berupa hadis mauquf, maqthu', mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal, atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau Mandzumah Bayquni disebutkanوكل ما عن رتبة الحسن قصر فهو الضعيف وهو اقسام كثر"Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif memiliki banyak ragam."4. Hadis Maudhu'Hadis Maudhu adalah Hadis dusta, dibuat-buat atau palsu. Bila hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai Ujung SanadKlasifikasi ini dibagi menjadi 3 golongan yakni Hadis Marfu terangkat, Mauquf terhenti dan Maqthu’terputus.1. Hadis Marfu' Yaitu hadis yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
4 Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. C. Cara Menerima Dan Menyampaikan Riwayat. Yang dimaksud dengan "jalan menerima hadits" (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara.
1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis 1 Penerima harus dlabit memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid. 2 Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. 3 Tamyiz Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. 2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah 1 Islam Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam. 2 Baligh Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih. 3 Adalah adil Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri muru’ah sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat adalahnya seorang rawi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal 4 Dlabit Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu a Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki. b Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2022 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2022. Kunjungilah semoga bermanfaat. Aamiin. Source
Dalamliteratur islam, hadis nabi Muhammad SAW menempati urutan kedua setelah Al Quranul karim sebagai sumber utama Syariat Islam, Fungsi hadist nabi tidak saja sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih sangat umum dalam Al qur'an,tapi juga menjadi sumber agama baru di dalam hal-hal yang tidak di jelaskan di dalam alqur'an, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk mengetahui dan
vYuf. x68w6p2wzo.pages.dev/729x68w6p2wzo.pages.dev/24x68w6p2wzo.pages.dev/70x68w6p2wzo.pages.dev/3x68w6p2wzo.pages.dev/908x68w6p2wzo.pages.dev/578x68w6p2wzo.pages.dev/568x68w6p2wzo.pages.dev/755x68w6p2wzo.pages.dev/896x68w6p2wzo.pages.dev/861x68w6p2wzo.pages.dev/503x68w6p2wzo.pages.dev/574x68w6p2wzo.pages.dev/814x68w6p2wzo.pages.dev/151x68w6p2wzo.pages.dev/927
berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah